
FLORES GENUINE – Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus menyatakan bahwa imamat adalah sebuah perjalanan kesetiaan, tentang imamat dan tentang semua hal yang menjadi bagian dari layanan perjalanan imamat dan tentu saja umat menjadi bagian dari perjalanan para imam.
Uskup Maksimus mengatakan ini saat merayakan misa pemberkatan minyak, pembaharuan janji imamat dan syukur atas usia perak dan pancawindu imamat sejumlah imam yang berlangsung di Gereja Katedral Roh Kudus, Labuan Bajo Kamis (10/4/2025).
Mengutip tema : “Tuhan Mengurapi Aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik”, Uskup Maksimus mengatakan bahwa ada tiga hal yang dirayakan yakni pembaharuan imamat, pemberkatan minyak kudus dan syukuran panca windu dan perak imamat.
Uskup mengajak umat dan para imam untuk merenungkan empat poin yaitu: pertama, pengurapan di mana Nabi Yesaya membongkar kembali memori imamat kita para imam. Di mana dalam seruan, Roh Tuhan ada padaku karena ia telah mengurapi aku. Pengurapan adalah rahmat yang bekerja kadang dan sering tanpa suara tetapi nyata. Pengurapan ini bukan hanya menyentuh kulit tetapi menelusur ke kedalaman jiwa.
“ Pengurapan ini adalah sentuhan yang sifatnya paling pribadi. Mengenal, menguatkan dan membaharui kita sebagai imam. Kita semua telah menerima pengurapan itu bukan untuk kemegahan dunia melainkan untuk menghayati kesetiaan,” ujarnya.
Karena itu, kata Uskup Maksimus, pengurapan bukan privilesi eksklusif. Walaupun hanya imam yang diurapi tetapi pengurapan itu tidaklah eksklusif sifatnya. Pengurapan adalah tanda rahmat Tuhan yang mengalir terus menerus di dalam kehidupan seorang imam dan juga di dalam pelayanannya.
Pengurapan selalu berhubungan dengan dimensi perutusan. Kedua adalah perutusan yakni merujuk pada kata-kata Yesus sendiri. Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin. Para imam diutus bukan untuk duduk nyaman di pusat, tetapi untuk hadir di pinggiran. Pusat ini banyak hal bisa didefinisikan sendiri. Bisa pusat geografis, tetapi juga pusat situasional, kenyamanan dan sebagainya. Perutusan adalah tangkapan akan perintah Allah sendiri.
Perutusan para imam juga adalah pengakuan bahwa Kristus menjadi kompas sejarah pelayanan. Bukan hanya arah, tetapi jalan itu sendiri. Perutusan bukan soal hasil. Tetapi kesetiaan dalam langkah, merintangi lembah dan bukit dengan semangat yang tak pernah redup. Karena itu para imam harus memiliki patokan layanan perutusan. Harus ada namanya tubuh-tubuh keberhasilan. Hasil itu nomor kedua yang penting adalah kesetiaan dan sukacita.
Ketiga, pelayanan sejati. Pelayanan yang diutamakan bukanlah aksi memamerkan kemampuan, bukan aksi pertunjukan kemuliaan diri.
“ Kita para imam bukan penguasa altar, tetapi pelayan suka dan duka umat, gereja, dunia dan kehidupan. Imamat bukan sebuah bentangan karpet merah yang menggoda kita dalam glorifikasi status kita, tetapi jalan setapak penuh debu, keheningan, kesunyian, bahkan kesetiaan. Imamat kita adalah potret keraguan, dan dia rapuh,” ungkap Uskup.
Uskup Makimus berkata,” Kadang-kadang kami para imam ini pura-pura kuat, padahal rapuh dan pura-pura kuat. Para imam ini jago menyembunyikan kesulitan dan kesedihan dalam hidup mereka. Kalau mereka sakit, jarang sekali mereka katakan mereka sakit. Sembunyi di dalam kamar, sampai orang tidak menemukan mereka. Hampir tidak pernah dari para imam itu kalau sakit, bicara bahwa saya sekarang sakit,” ujarnya.
Di tengah rapuhnya para imam tetap diminta untuk membawa harta injil yaitu korban syukur. Pelayanan sebagai imam dengan segala luka dan lelahnya adalah latihan untuk mencintai Tuhan dan gereja dengan murni dari waktu ke waktu.
“ Hanya dari model pelayanan ini, imamat kita akan bersentuhan dengan poin keempat yang perlu kita renungkan adalah pengharapan. Poin terakhir ini koheren dengan tema dan semangat tahun Yubelium 2025 yakni tentang pengharapan,” tambahnya.
SRomo Benediktus Bensi mewakili para imam yang merayakan pancawindu dan pesta perak menyampaikan bahwa ketika pada hari ini saya menyaksikan ketika ada banyak suster yang hadir, ketika ada umat yang begitu banyak hadir. Hati kami begitu berbahagia dan berbunga-bunga katanya.
Sementara itu, Romo Beni Bensi mengatakan bahwa begitu banyak kasih dalam panggilan yang mereka alami dalam kehidupan ini.
“ Kami dikuatkan karena senantiasa mendukung kami dalam perjalanan pengalaman panggilan ini. Perjalanan panggilan kami yang begitu panjang melambangkan waktu pelayanan yang kami jalani. Begitu banyak umat yang senantiasa mendukung kami dalam setiap panggilan yang kami jalani dalam berbagai tempat dan dalam setiap kesempatan yang boleh kami jalankan,” ujarnya.
Dia mengatakan ada pula umat yang bertanya, mengapa imamat harus disyukuri? Karena rahmat Allah yang mendorong orang agar bisa menjadi imam. Orang menjadi imam bukan karena dia mau tetapi karena rahmat Allah mengalir dalam dirinya. Mereka bersyukur karena mereka dipanggil diantara orang-orang yang Tuhan pilih untuk menjadi imam.
“ Kami bersyukur atas karya besar Tuhan yang telah memilih kami untuk menjadi imam. Tuhan dengan cara yang istimewa memilih kami. Kami juga bersyukur karena ketika kami menjadi imam dan menjalankannya, kami tidak berjalan sendirian dalam kehidupan panggilan menjadi imam dan tugas pelayanan. Karena Tuhan setiap saat berjalan bersama kami. Dia membuat garis lurus yang tidak terselami dalam kehidupan kami,” ungkap Romo Beni.
Dia melanjutkan, “ ketika kami dalam kehidupan dalam baris yang bentuk bengkok, Tuhan meluruskannya. Dengan berbagai cara Tuhan meyakini kami dalam bentuk dukungan umat. Ada dukungan dari bapak uskup, ada dukungan dari rekan imam dan ada dukungan dari umat yang kami layani. Dukungan dari umat ini merupakan tanda penyertaan Tuhan bagi kami,” tambahnya.
Diketahui, para imam Katolik yang merayakan pancawindu imamat yaitu Romo Benediktus Bensi, Pr dan Romo Martinus Tolen Tino, Pr sedangkan imam yang merayakan perak imamat yaitu Romo Ferdinandus Manyus, Pr, Romo Emilianus Jehadus, Pr, Pater Yeremias Bero, SVD, dan Pater Agustinus Naba, SVD. *[vin/fgc]