FLORESIANA

Taman Nasional Komodo : Antara Konservasi dan Pariwisata

FLORESGENUINE.com- Terletak di kawasan Wallecia dan jantung Coral Triangle, kawasan marine Taman Nasional Komodo (TNK) seluas 132.752 Ha ini sangat  kaya akan sumber daya hayati dan non hayati.

Binatang purba komodo dan ekosistem terumbu karang dan padang lamun merupakan habitan asli bagi lebih dari 1000 spesies ikan, 260 spesies karang dan 70 spesies bunga karang, reptile dan mamalia laut.

Keelokan, keunikan dan keterpesonaan TNK itulah yang mendorong UNESCO, organisasi badan dunia (PBB) untuk memberikan beberapa gelar atau atribut internasional sebut missal, cagar biosfer pada tahun 1986. Lalu pada tahun 1991 TNK diberi status istimewa sebagai situs warisan dunia dan pada tahun 2011 TNK ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam dunia (New 7 wonders of nature).

Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu dari 5 taman nasional tertua di Indonesia. Ia dibentuk melalui pengumuman Menteri Pertanian RI pada tanggal 6 Maret 1980. Selama kurun waktu 10 tahun yakni 1980-1990, dilakukan pembentukan dan pembangunan kelembagaan dan kawasan yang terwujud dalam pembentukan organisasi, pemenuhan sumber daya manusia bersifat lokal, pemenuhan sarana dan prasarana, penyusunan rancana pengelolaan makro, pembagian resort wilayah, sosialisasi dan penyuluhan serta pengembangan wisata terbatas.

Pasca fase pembentukan dan pembangunan, guna menerapkan asas kelestarian maka dilakukan penetapan dan pengukuhan tata batas kawasan TNK. Lalu, sebagai perwujudan aspek perlindungan terhadap kawasan, dilakukan penyusunan zonasi yang ditetapkan pada tahun 2001. Sementara itu, dalam rangka pemenuhan tugas pokok dan fungsi sebagai taman nasional, intensitas pengelolaan di daratan, terutama terhadap satwa komodo, habitat dan ekosistemnya terus ditingkatkan.

Sedangkan peningkatan kegiatan pemanfaatan dalam bidang wisata alam yakni dengan dibukanya antry gate di Loh Liang, Pulau Komodo dan Loh Buaya, di Pulau Rinca dengan koperasi karyawan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) sebagai pionernya.

Guna mendukung pengelolaan kawasan, BTNK lantas menjalin kerjasama dengan UGM Yogyakarta untuk menyusun embrio konsep swadana dan rencana strategis pengelolaan. Selain itu, mitra lain yang bekerjasama dengan BTNK adalah The Nature Conservancy (TNC) yaitu sebuah LSM internasional yang berkedudukan di Amerika Serikat dalam pengelolaan kawasan perairan. LSM lainnya, yang ikut berkontribusi untuk melakukan monitoring satwa komodo yakni San Diego Zoo. LSM ini juga membawa misi penguatan sumberdaya manusia serta lembaga RARE Internasional yang bergerak dibidang pengembangan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat.

BACA JUGA:  Mgr. Max Regus, Misereor dan Skapulir

Kerjasama BTNK dengan Fakultas Kehutanan UGM dan TNC menghasilkan rencana pengelolaan 25 tahun TNK yang tertuang dalam 3 dokumen yakni masing-masing buku I tentang rencana pengelolaan, Buku II tentang data dan analisa serta buku 3 tentang rencana tapak.

Pasca fase kerjasama teknis dengan berbagai mitra, TNK memasuki fase baru yang kala itu dikenal dengan sistem pengelolaan kolaborasi TNK. Desain kolaborasi melibatkan beberapa pihak antara lain PT. Putri Naga Komodo (PNK), di mana PT. PNK dibentuk oleh TNC yang bekerjasama dengan PT Jaytasha Putrindo Utama (JPU). Kemudian PT. PNK memperoleh ijin pengusahaan pariwisataan alam (IPPA) seluas 160,10 Ha di wilayah Loh Liang pulau Komodo dan Loh Buaya di Pulau Rinca.

BACA JUGA:  Spiderweb Ricefield, Destinasi Wisata yang Menyatukan Dunia

Konsep kolaborasi antara BTNK sebagai pemangku kawasan TNK dengan PT.PNK, Pemkab Manggarai Barat dan DPRD Manggarai Barat yang disusun dengan konsep KCMI (Komodo Kolaboratif Management Inisiatif) ternyata tidak berjalan mulus lantaran system kolaborasi itu mendapat penolakan dari masyarakat.

Penolakan terhadap system pengelolaan kolaborasi ini berbuntut panjang yakni hengkangnya TNC dan PT.PNK dari Taman Nasional Komodo. Taman Nasional Komodo akhirnya memasuki babak baru yakni fase pengelolaan menuju kemandirian. Fase ini diawali dengan penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan TNK yaitu rencana strategis tahun 2010-2014.

Binatang purba komodo yang harus dilindungi. (foto : ist)

Namun, di tengah upaya penyusunan dan pelaksanaan perencanaan pengelolaan TNK menuju kemandirian, muncul berbagai aksi unjukrasa yang pada intinya menentang berbagai kebijakan pemerintah. Berbagai persoalan yang terpendam selama bertahun-tahun mulai terkuak ke publik. Sebut missal, kasus kekerasan terhadap nelayan tradisional, pelanggaran hak-hak asasi manusia baik hak ekonomi, social, budaya dan politik hingga gugatan terhadap sistem zonasi yang diterapkan di TNK. Di mana masyarakat lokal menganggap system zonasi TNK justru telah menghimpit ruang hidup dan ruang kelola masyarakat lokal.

Jika ditelisik lebih jauh, konflik dan berbagai persoalan di TNK sesungguhnya telah berlangsung lama baik masih zaman colonial hingga di era kemerdekaan. Konflik muncul lantaran masyarakat local menganggap bahwa proses penetapan kawasan komodo sebagai TNK dilakukan secara sepihak, tanpa melibatkan masyarakat local.

BACA JUGA:  Flores A Beautiful Island

Tindakan pengambilalihan hak-hak masyarakat lokal (tanah, hewan peliharaan dll) untuk dijadikan sebagai bagian dari kekayaan TNK tanpa bermusyawarah dengan masyarakat atau mendapatkan ganti rugi sewajarnya. Dan belakangan konflik semakin massif ketika pemerintah menerapkan sistem zonasi TNK yakni dengan membagi-bagi wilayah atas beberapa zona (zona inti, zona penyangga, zona transisi).

Berbagai tindakan represif oleh aparat gabungan keamanan  TNK untuk beberapa dasawarsa, kian memantik aksi protes dan kekerasan di TNK. Sementara itu, kondisi ini diperburuk oleh tekanan ekonomi masyarakat akibat makin tingginya tuntutan kebutuhan hidup di satu sisi dan praktik persaingan dan perebutan pengelolaan sumber daya alam TNK oleh beberapa pihak yang memiliki kepentingan berbeda-beda di sisi yang lain.

Berangkat dari paparan singkat di atas, sekilas memberikan gambaran kepada kita bahwa kawasan TNK adalah sumber konflik dari berbagai pemangku kepentingan yang hingga kini tak kunjung terselesaikan. Dalam kondisi demikian, apakah rencana penutupan TNK yang akan dimulai pada tahun 2025 mendatang, adalah bagian dari solusi? Ataukah sebaliknya, kebijakan itu justru akan melahirkan masalah-masalah baru lagi? Hanya waktu yang akan membuktikannya.* [Kornelis Rahalaka]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button