PARIWISATA

Merindukan “Nabi” Penyelamat: ISKA Dorong Kebijakan Arus Utama Sektor Pariwisata di NTT

Nusa Tenggara Timur (NTT) sejatinya tidak perlu lagi menunggu kedatangan “nabi” dari luar. Potensi untuk perubahan dan kemajuan telah ada di dalam diri masyarakat serta kekayaan sumberdaya alamnya. NTT memiliki potensi sumberdaya alam baru yang berkelanjutan, khususnya di sector pariwisata.

Pariwisata dapat menjadi sector utama penggerak ekonomi yang mampu menstimulasi pasar, menggerakkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta menjadi penghubung bagi sector perikanan, pertanian dan perkebunan.

Pariwisata adalah sector multi dimensi yang tidak dapat berdiri sendiri dan memiliki dampak berganda yang sangat luas. Kekuatan sector pariwisata NTT sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti infrastruktur, kebersihan, keamanan, kesehatan, budaya, pendidikan, bahkan regulasi investasi.

Mengingat dampak berganda yang begitu luas, pemerintah harus mulai fokus pada kebijakan dan alokasi anggaran untuk mendorong konsentrasi pengembangan pariwisata di seluruh dinas, instansi dan kelembagaan terkait. Tanpa transformasi kebijakan ini, upaya pengembangan pariwisata akan berjalan sporadis dan tidak maksimal. Sebagai contoh, membangun hotel megah atau kawasan wisata tanpa akses jalan yang memadai, atau mempromosikan destinasi tanpa system pengelolaan sampah yang baik, justru akan merusak potensi pariwisata itu sendiri.

Pada periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pengembangan destinasi prioritas Labuan Bajo telah diperluas kebeberapa wilayah kabupaten/kota. Kebijakan ini menjadi panduan dalam mengembangkan kebijakan di masing-masing wilayah. Pemerintah provinsi diharapkan menjadi inisiator dan fasilitator untuk mengarusutamakan pengembangan sector pariwisata.

Dalam konteks ini, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) mendorong berbagai kelembagaan strategis untuk menyusun peta jalan NTT yang berfungsi sebagai panduan (guideline) untuk pembangunan decade mendatang. Inilah “nabi” yang sesungguhnya: lahir dari kesadaran kolektif dan tindakan nyata untuk membangun NTT yang lebih baik. Peta jalan ini juga akan berguna untuk mencegah kerentanan yang dapat melukai kekuatan sosial dan budaya di NTT, seperti fenomena kekuatan netizen di era digital yang terkadang “menabrak” kekuatan institusi keagamaan.

Peta jalan NTT ini harus menjadi panduan komprehensif yang menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan. Panduan ini harus fokus pada prinsip-prinsip pembangunan yang menghargai dan memperkuat nilai-nilai lokal, serta memastikan partisipasi aktif masyarakat. Kini saatnya kepemimpinan NTT saat ini membangun fondasi yang kuat untuk decade mendatang.

BACA JUGA:  Kunjungan Wisatawan Meningkat, Jumlah Maskapai Penerbangan Kurang

Refleksi dan Tantangan Pembangunan di NTT

Apabila melihat jauh kebelakang, sejak menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), bayang-bayang kondisi ekonomi yang rentan masih sangat terasa di sebagian besar masyarakatnya. Sementara itu, di pulau Jawa, pembangunan dan modernisasi terus berdenyut. Kota-kota di Jawa, dengan infrastruktur yang lebih maju, akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, serta peluang ekonomi yang lebih beragam, mampu memberikan kehidupan yang lebih layak bagi warganya.

Ketika negara-negara seperti Selandia Baru, Singapura, serta kota Dubai melesat jauh dalam pertumbuhan ekonomi, NTT seolah tertinggal dalam pusaran stagnasi. Negara-negara di dunia seperti Brasil, Meksiko, Italia atau Filipina, atau negara-negara di Afrika seperti Gabon, Guinea, dan Nigeria, memiliki rasio populasi demografi Katolik yang hamper sebanding dengan NTT. Pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi ekonomi umat di negara-negara tersebut?

BACA JUGA:  Pengembangan Destinasi Wisata Parapuar, Adopsi Filosofi Gendang One Lingko Pe’ang

Dalam perbandingan PDB per kapita, Singapura memimpin dengan sekitar Rp 1,014 miliar, berkat statusnya sebagai pusat keuangan global. Dubai (sebagai bagian dari Uni Emirat Arab) menyusul dengan PDB per kapita nominal sekitar Rp 658 juta (berdasarkan data UEA tahun 2023). Selandia Baru berada di tengah dengan sekitar Rp 647 juta, merefleksikan ekonominya yang berbasis agrikultur dan pariwisata. Guangzhou menunjukkan angka sekitar Rp 347 juta, sangat impresif untuk sebuah kota industri.

Meskipun NTT secara keseluruhan masih menghadapi tantangan PDRB per kapita di bawah Rp 30 juta, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pariwisata sangat menonjol di Manggarai Barat. Kota Kupang mengandalkan pajak dan retribusi umum untuk PAD sekitar Rp 190,53 miliar. Namun, Manggarai Barat, dengan Labuan Bajo sebagai primadona, berhasil mencapai PAD Rp 248,8 miliar pada 2023, utamanya bersumber dari pajak hotel, restoran, retribusi objek wisata. Ini menunjukkan bahwa pariwisata, seperti yang terbukti di Manggarai Barat, bias menjadi motor utama peningkatan PAD dan kesejahteraan ekonomi di NTT, meskipun skala ekonominya masih jauh di bawah negara maju.

Dalam decade mendatang, Singapura terus tumbuh sebagai hub global untuk logistik dan konektivitas, serta pusat keuangan dan investasi serta teknologi berbasis Artificial Intelligence (AI). Guangzhou sebagai pusat manufaktur, inovasi, riset dan pengembangan (R&D), serta manufaktur berbasis AI. Dubai terus berkembang sebagai pusat pariwisata dan hiburan global, hub logistik dan perdagangan, ekonomi, teknologi dan inovasi, perdagangan, serta jasa keuangan dan investasi. Sementara di tempat yang tidak terlalu jauh, Bali bertumbuh dalam konteks yang jauh berbeda dengan pertumbuhan kota dan wilayah lainnya di dunia. Lalu, model pengembangan ekonomi seperti apa yang cocok untuk NTT?

BACA JUGA:  SMP Negeri 2 Buyasuri Gelar Karnaval, Meriahkan HUT Kemerdekaan RI

Di tengah dinamika ekonomi global dan kesulitan ekonomi nasional saat ini, bagaimana NTT menatap masa depannya? NTT harus menatap masa depan dengan mata dan tindakan lokal, namun berpikir global, untuk merangkai asa di tengah keterbatasan sumber daya alam.

NTT menghadapi tantangan yang semakin kompleks, termasuk potensi inefisiensi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang belum optimal dan tidak tepat sasaran. Selain itu, akses terbatas terhadap modal dan pasar bagi pelaku UMKM local telah menyebabkan kemiskinan yang mengakar selama tujuh dekade.

Dengan memperhatikan tantangan, kendala, peluang dan kekuatan yang dimiliki NTT, dapat ditarik sebuah kesimpulan: “nabi” penyelamat kemiskinan yang selama ini dirindukan bukanlah sosok mistis dengan kekuatan supranatural. Sang “Nabi” itu adalah pemerintahan yang bersih dari korupsi dan mampu menerapkan kepemimpinan transformatif yang berlandaskan semangat gotong royong. Inilah pemerintah yang mendukung pengarusutamaan sector pariwisata di seluruh bidang.* [Yakobus S Muda]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button