OPINI

Mahir Medsos, Buta Budaya: Paradoks Anak Muda Manggarai

Oleh : Sandrianus Kasiman*

Fenomena yang terlihat di kalangan pemuda Manggarai saat ini mencerminkan suatu paradoks kompleks yang mengkhawatirkan. Mereka hidup di zaman digital dengan akses informasi yang hampir tidak terbatas melalui platform media sosial, tetapi di saat yang sama, mereka mengalami kekurangan pengetahuan tentang warisan budaya mereka yang kaya.

Paradoks ini mencerminkan fenomena global yang terjadi di berbagai komunitas adat, di mana kemahiran teknologi digital berbanding terbalik dengan penguasaan warisan budaya lokal. Di tengah masyarakat terdapat sebuah elemen yang memiliki peran sentral yaitu budaya.

Dari waktu ke waktu budaya memiliki pengaruh mendalam terhadap karakter kolektif masyrakat. Pada dasarnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa diwariskan dari masa ke masa. Namun, seiring dengan proses perubahan sosial di masyarakat, cara orang untuk menanamkan dan menerima nilai budaya yang sudah ada sejak dulu juga akan berubah.

Kemahiran Digital sebagai Pedang Bermata Dua

Tidak dapat dipungkiri bahwa anak muda Manggarai hari ini menunjukkan adaptabilitas luar biasa terhadap teknologi media sosial. Mereka dengan mudah menavigasi platform seperti Instagram, TikTok, Facebook bahkan kerap menjadi content creator yang mampu menghasilkan konten viral.

Kemampuan mereka dalam memanfaatkan fitur-fitur canggih media sosial, dari editing video hingga strategi marketing digital, patut diapresiasi sebagai bentuk literasi digital yang progresif. Namun, kemahiran ini justru menciptakan jarak dengan akar budaya mereka sendiri. Semakin fasih mereka berbahasa “digital”, semakin asing mereka dengan bahasa tradisional Manggarai. Semakin mahir mereka mengikuti tren global, semakin jauh mereka dari ritual adat dan nilai-nilai leluhur yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Akar Masalah: Revolusi Digital vs Tradisi Lisan

Budaya Manggarai, sebagaimana budaya lainnya di Nusantara, memiliki dasar yang kuat pada tradisi lisan. Nilai-nilai, sejarah dan kebijaksanaan lokal diturunkan melalui narasi, ritual, dan aktivitas sehari-hari. Namun, perubahan yang dibawa oleh revolusi digital telah merubah cara pemuda dalam mengakses maupun memahami informasi.

BACA JUGA:  ISKA Dorong Lemhannas Lakukan SSDN di Destinasi Pariwisata Super Prioritas

Media sosial memberikan informasi dengan cara yang singkat, visual, dan cepat, sangat berbeda dengan tradisi lisan yang membutuhkan waktu, kesabaran, dan interaksi langsung dengan orang-orang tua . Saat ini, pemuda Manggarai lebih mengerti tentang budaya pop global dibandingkan dengan caci atau danding yang merupakan tradisi adat manggarai. Mereka lebih mengenal lirik lagu-lagu K-pop atau tren. Hal ini bukan semata kesalahan mereka, melainkan akibat dari perubahan dalam cara budaya disampaikan yang tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.

Media Sosial sebagai Pisau Bermata Dua

Media sosial memiliki potensi besar sebagai alat untuk menjaga kelestarian budaya, namun pada kenyataannya, ia juga menjadi penyebab percepatan hilangnya budaya lokal. Platform-platform digital ini umumnya diisi oleh konten global yang seragam, sehingga sedikit menyisakan tempat untuk konten budaya lokal yang otentik.

Algoritma pada media sosial cenderung lebih menonjolkan materi yang viral dan terkenal secara global, bukan konten yang memiliki nilai budaya lokal.Namun, peluang besar juga muncul dari sini. Tetapi beberapa pemuda Manggarai yang menyadari pentingnya budaya mulai memanfaatkan media sosial untuk menyimpan dan mempromosikan tradisi mereka.

Video tentang tarian tradisional, makanan khas, atau cerita rakyat Manggarai mulai muncul di berbagai platform digital. Meski jumlahnya masih terbatas, ini menunjukkan bahwa media sosial dapat berfungsi sebagai alat untuk menjaga budaya jika dimanfaatkan dengan baik.

Peran Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan resmi di Indonesia, termasuk di Manggarai, masih berfokus pada pendekatan terpusat dan kurang memberikan kesempatan untuk mempelajari budaya lokal. Kurikulum yang disusun secara nasional sering kali mengabaikan kebijaksanaan lokal serta konteks budaya setempat.

BACA JUGA:  Cerdas, Elegan Berpendapat

Anak-anak Manggarai diajarkan sejarah nasional dan global, namun hanya sedikit yang mengetahui mengenai sejarah dari tempat asal mereka sendiri. Pendidikan budaya yang ada seringkali bersifat dangkal hanya memperkenalkan tarian atau pakaian tradisional tanpa memahami makna serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini menyebabkan anak-anak muda menganggap budaya mereka sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dan tidak berkaitan dengan kehidupan modern.

Krisis Identitas dan Pencarian Jati Diri

Fenomena yang dihadapi oleh anak muda di Manggarai sebenarnya adalah sebuah krisis identitas. Mereka berada di suatu titik pertemuan antara tradisi dan inovasi, antara lokal dan global, serta antara masa lalu dan masa depan. Situasi ini menimbulkan kebingungan mengenai siapa diri mereka dan bagaimana sepatutnya menjalani kehidupan.

Dengan adanya media sosial, secara ironis, krisis identitas ini semakin parah. Platform digital memberikan beragam pilihan identitas yang seolah bisadigunakan seperti pakaian. Anak muda dapat bertransformasi menjadi siapa saja di dunia maya, tetapi kehilangan jati diri yang nyata. Mereka mahir dalam menciptakan citra digital namun mengabaikan identitas budaya yang sejati.

Solusi dan Jalan Keluar

Untuk mengatasi situasi paradoks ini dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan kerjasama. Pertama, ada kebutuhan untuk menghidupkan kembali sistem penyampaian budaya tradisional. Tokoh adat dan sesepuh perlu menyesuaikan metode komunikasi agar lebih dekat dengan anak muda, mungkin dengan memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan nilai-nilai budaya.

Kedua, media sosial seharusnya digunakan sebagai sarana untuk melestarikan budaya. Konten yang berhubungan dengan kebudayaan Manggarai perlu disajikan dalam bentuk yang menarik dan sesuai dengan karakteristik media digital – seperti visual dan interaktif. Cerita tradisional dapat diubah menjadi format video pendek, podcast, atau konten multimedia lainnya.

BACA JUGA:  Mgr. Budi Kleden : Jawaban Doa Umat dan Perutusan Baru (1)

Ketiga, sistem pendidikan harus direvisi untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi pembelajaran tentang budaya lokal. Pendidikan yang berlandaskan pada kearifan lokal tidak hanya akan menjaga budaya, tetapi juga membuat proses belajar lebih relevan dan bernilai bagi siswa.

Keempat, perlu ada gerakan kesadaran budaya yang dipimpin oleh anak muda. Pengaruh teman sebaya sangat kuat dalam kalangan generasi muda, sehingga gerakan ini akan lebih efektif jika berasal dari komunitas mereka sendiri.

Harapan untuk Masa Depan

Walaupun kondisi saat ini cukup memprihatinkan, masih ada harapan. Beberapa anak muda di Manggarai mulai menyadari pentingnya menjaga budaya mereka. Mereka mulai mempelajari bahasa daerah, menghadiri upacara adat, dan memanfaatkan media sosial untuk mendukung budaya Manggarai.

Paradoks “media sosial, buta budaya” ini sebenarnya bisa menjadi penggerak untuk perubahan yang positif. Krisis identitas yang dialami anak muda dapat memicu pencarian yang lebih mendalam terhadap akar budaya mereka. Meskipun saat ini berkontribusi pada masalah, media sosialmemiliki potensi besar untuk menjadi solusi jika dimanfaatkan dengan bijak.Yang diperlukan sekarang adalah kolaborasi dari semua pihak, generasi tua dan muda, lembaga formal dan informal serta pemerintah dan masyarakat sipil untuk menjembatani perbedaan antara tradisi dan modernitas.

Budaya Manggarai yang kaya dan bermakna ini harus mampu bertahan dan berkembang di era digital, bukan terpuruk oleh perubahan zaman. Masa depan budaya Manggarai ada di tangan generasi muda. Krisis yang mereka hadapi saat ini dapat menjadi titik balik menuju kebangkitan budaya yang lebih kuat dan relevan di abad ke-21.*

Penulis adalah Mahasiswa PGSD Semester IV Unika St. Paulus Ruteng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button