BUMI MANUSIA

Desa Wisata Liang Ndara di Tengah Arus Perubahan Zaman

Editor : Kornelis Rahalaka

Desa Liang Ndara di Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) punya daya tarik yang sempurna. Wilayah ini mulai dikenal luas oleh masyarakat dunia, lebih kurang sepuluh tahun terakhir, ketika pemerintah dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendeklarasikan desa ini sebagai salah satu desa wisata di Manggarai Barat.

Penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan memiliki lahan perkebunan kemiri, kakao, kopi, cengkeh, vanili, dan tanaman perdagangan lainnya, mulai merasakan angin sejuk pariswisata.

Perkembangan yang dapat terlihat secara kasat mata adalah bahwa di desa ini tumbuh beberapa sanggar budaya dilengkapi home stay dan fasilitas pendukung pariwisata lainnya yang cukup memadai dan bisa dimanfaatkan oleh para wisatawan.

Para petani mulai merasakan bahwa ternyata pariwisata bisa menjadi salah satu alternatif yang mendatangkan keuntungan di tengah harga pangan dan hasil perkebunan yang tidak menentu.

Tidak heran, harga-harga komoditi yang tidak stabil, membuat sebagian petani merasa bosan bahkan merasa sia-sia menanam dan merawat tanaman perkebunan mereka seperti kopi, cengkeh, vanili, coklat dan tanaman buah-buahan. Mereka merasakan bahwa ada alternatif lain yang bisa menjadi penopang hidup selanjutnya. Maka di sini, pariwisata tampil sebagai ‘malaekat’ serntak menjadi daya tarik yang menggiurkan.

Petani lalu menjadikan semua aktivitas mereka sebagai ‘komoditi’ yang dapat dijual kepada wisatawan. Indekon, adalah salah satu lembaga yang bergerak dibidang pariwisata yang berupaya untuk memajukan pariwisata di wilayah ini dengan mempromosikannya ke dunia luar.

Perkembangan ini sungguh menggembirakan karena menambah banyak orang dari berbagai golongan dan kebangsaan untuk datang bergabung dan bergaul dengan masyarakat di tempat ini. Lantas, tempat ini menjadi terbuka bagi siapa saja. Kapan saja masyarakat setempat dapat berkontak dengan dunia luar.

BACA JUGA:  Hati Damai, Wisata Rohani di Bukit Doa Wato Miten Lembata

Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah seberapa terbukakah masyarakat Liang Ndara sehingga pada titik ini perlu dipikirkan sebuah pintu gerbang. Pintu gerbang yang bisa menjadi “penyaring” tatanan budaya dan kehidupan masyarakat Liang Ndara?.

Berbicara tentang kontak-mengontak dengan dunia luar, orang Manggarai pada umumnya miliki filisofi hidup tersendiri. Sedikitnya terdapat lima pilar besar yang diyakini orang Manggarai sebagai hal pokok yang mesti diketahui, dijunjung tinggi dan dihidupi. Pertama, gendang yang melambangkan tempat perlindungan. Kedua, compang yang melambangkan pusat persatuan. Ketiga, waeteku yang melambangkan sumber kehidupan. Keempat, lingko yang melambangkan kesejahteraan. Kelima, paang yang melambangkan pelindung kampung. Lima hal ini menjadi pilar orang Manggarai sejak dahulu atau hanya dengan satu tarikan napas yaitu Gendang one lingko pe’ang, natas labar waeteku.

Nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi tersebut selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Liang Ndara. Sebenarnya, nilai-nilai itu tidak hanya demi parawisata semata, tetapi juga demi keberlanjutan hidup anak cucu.

BACA JUGA:  Dukung Investasi Pariwisata, BPOLBF Gelar Sarasehan bersama Warga Diaspora NTT

Berkat kehadiran beberapa lembaga swadaya masyarakat sebagai penggerak, maka Liang Ndara perlahan-lahan memahami jati diri mereka sebagai rumah bagi aktivitas pariwisata. Masyarakat dunia melihat mereka, maka dengan sendirinya, mereka selalu sigap untuk mempertunjukkan apa yang mereka punya.

Semakin berlalunya waktu, kehidupan masyarakat Liang Ndara sudah mulai berubah dari sisi perekonomian mereka. Label parawisata juga telah membuat masyarakat Liang Ndara semakin percaya diri, untuk menunjukkan apa yang mereka punya baik itu, kelebihan maupun kekurangan.

Satu aspek yang dapat menjadi bahan refleksi yakni aktor-aktor budaya yang belum dibekali pengetahuan praksis seperti berbahasa Inggris. Hal ini terjadi karena pendidikan belum menyentuh para aktor budaya sehingga warga lokal harus menggunakan penerjemah (guide) dari luar. Banyak pesan budaya yang sebenarnya penting diketahui dunia luar akhirnya tak tersampaikan dengan baik.

Pemandangan sunset dari puncak Liang Ndara menjelang malam.(Foto:Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Fenomena lain yakni kurang adanya kaderisasi aktor budaya bagi generasi muda. Seiring perkembangan jaman, anak-anak muda cenderung memilih kehidupan modernisasi kota. Keadaan ini menyebabkan nilai-nilai kebudayaan lokal lebih dikenal dan melekat dengan kehidupan orang-orang tua.

Sebagaimana lezatnya secangkir kopi yang merupakan hasil olahan seorang ibu di Liang Ndara. Aromanya menusuk hidung setiap orang yang lewat, begitu pula letaknya yang sangat starategis di bawah gunung Mbeliling membuat Liang Ndara begitu pesona bak seorang perawan. Tidak heran, banyak orang baik asing maupun yang domestik berlomba-lomba meliriknya.

BACA JUGA:  Memelihara Tradisi Tenun Tangan, Mencegah Hilangnya Kearifan Lokal

Ibu dan bapak tani digoda untuk memiliki uang miliaran rupiah dengan merelakan sebidang tanah. Terkadang mereka tidak mengerti, mengapa lahan mereka yang terletak di lereng gunung Mbeliling yang indah itu, tiba-tiba menjadi sangat menggiurkan dan mampu menghasilkan uang bermiliaran rupiah. Tentu itu satu ‘daya tarik’ yang juga menggiurkan.

Namun, sebagian warga masih memegang teguh pada filosofi lima pilar di atas. Mereka masih mampu menghalau godaan tersebut, sedangkan sebagian lainnya relah melepaskannya demi pemenuhan kebutuhan.

Seberapa kuatkah masyarakat Liang Ndara bertahan terhadap godaan itu? Sampai generasi keberapakah orang Liang Ndara mempertahankan tanah warisan leluhur mereka? Masih menjadi perkiraan setiap orang.

Yang jelas, para pemilik uang atau para milioner akan selalu hadir dan terus menggoda mereka. Untuk generasi sekarang ini, mereka mungkin masih punya landasan yang kokoh karena dibekali dengan pengetahuan yang memandai tentang nilai-nilai budaya Manggarai.

Mereka tahu bahwa tanah adalah tempat di mana ari-ari manusia disimpan, karena ia adalah kakak yang mesti dihargai dan dilindungi. Namun, apakah pengetahuan seperti itu dimiliki juga oleh generasi muda di masa yang akan datang?

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button