FLORESIANA

Neka Nu-na, Wejangan Luhur Orang Manggarai

Oleh Usman D Ganggang

Masyarakat Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), diakui, kaya dengan ungkapan yang bernilai positif. Salah satunya adalah neka nu-na. Artinya “jangan seperti”.

Konon, ketika kami kecil, ungkapan ini sering diajarkan orang tua kami, saat menjelang makan malam atau sesudah makan dan menjelang tidur. Sering kami simak, ketika ada kerabat atau handaitolan yang berpergian jauh, biasanya diadakan pencerahan oleh tetua adat atau yang dituakan dalam ca batu (satu rumpun) keluarga terkecil. Neka nu-na, diungkapan sebagai tanda kebersamaan. Artinya masing-masing ca batu berusaha untuk menjaga nama baiknya.

Ketika saya pulang ke kampung belakangan ini, petuah-petuah seperti itu sudah jarang diungkapkan oleh masyarakat. Tetua adat atau orang tua hanya memberi nasihat atau wejangan kepada anggota masyarakatnya atau kepada sanak saudaranya, itu pun jika diminta.

Misalnya, ketika ada pesta pernikahan. Itu pun lebih ditekankan pada persoalan kehidupan biasa-biasa saja. Pencerahan berupa antisipatif terhadap permasalahan yang terjadi di kemudian hari, malah dilupakan.

Padahal, dalam masyarakat Manggarai umumnya, sudah jauh hari mengenal filsafat 3 “ng”, yakni undang, indang dan ondang. Artinya, merupakan sebuah keniscayaan bagi ca batu untuk menjaga nama baik keluarganya dengan melakukan undang (mengadakan undangan untuk rapat); di mana dalam rapat itu diadakan indang (nasihat), selanjutnya jika semuanya selesai, maka boleh ondang (dibiarkan).

Dalam indang itu, mulailah pemimpin rapat (biasanya tetua adat) melakukan pencerahan berupa indang (nasihat) seperti kutipan berikut: Oe… ome di’an senang da, neka undang na susah (Oe.., kalau senang masih kita rasakan, jangan lagi diundang susah). Neka nu-na Emkoja, “Aku ho o da Emkoja, kebal, konem ca karung rasung toe mata aku laing e (Jangan seperti bapaknya Koja,”Aku ini bapaknya Koja, kebal, biar satu karung mantra mematikan, aku tak akan mati.”).

Contoh neka nu-na yang lain tertera pada uraian selanjutnya. Sayang sekali, fakta riil yang ada saat ini di Manggarai, filsafat 3 “ng” ini,  sudah di balik urutannya menjadi, ondang, undang, indang. Hal ini berdampak juga dalam kehidupan keseharian masyarakat Manggarai.

BACA JUGA:  Flores A Beautiful Island

Urutan di atas bermakna bahwa jika ada perilaku yang kurangbaik diondang (dibiarkan), nanti kalau terjadi masalah baru diundang (dirapatkan) untuk kemudian diindangkan (dinasihatkan/diberikan nasehat).

Padahal sejatinya, susunan filsafat itu, merupakan harga mati, tidak boleh dibolak balik. Neka nu-na sepertinya bukan lagi merupakan keharusan dalam pencerahan. Kini, kalau warga masyarakatnya berpergian jauh atau pergi merantau, jarang diadakan pencerahan dengan ungkapan neka nu-na. Ungkapan seperti itu, sering dilupakan entah karena terlalu sibuk atau mungkin dianggap kedaluwarsa alias kuno.

Neka nu-na adalah sebuah ungkapan sederhana. Sebuah filosofi hidup yang melandasi perilaku kehidupan sosial masyarakat Manggarai. Namun, untuk diaplikasikan dalam keseharian memang tidak sesederhana yang dipikirkan. Dan ungkapan itu lebih luas dan dalam sekali pesan moralnya.

Bagaimana tidak, betapa kentara jika dalam berkomunikasi, orang yang pernah dicerahkan dengan neka nu-na dengan orang yang tidak pernah. Biasanya, jauh bedanya. Bagi mereka yang pernah menerima pencerahan neka nu-na biasanya sopan (berperilaku baik) dibanding dengan orang yang tidak pernah. Bagi yang pernah, mereka merasakan banyak manfaatnya demi menambah wawasan dalam keseharian. Sedangkan bagi mereka yang berperilaku tidak baik dijuluki dengan nu-na atau nu…. .

Oleh karena itu,  tidak usah heran kalau kemudian dengan pasti, orang lain menyebutnya nu-na (seperti). Itu pula sebabnya, disarankan kalau kita mau diterima orang lain dalam berkomunikasi, mestinya, kita harus selalu ingat akan ungkapan neka nu-na. Kalau tidak, sebentar lagi kita akan dijuluki orang lain dengan ungkapan nu-na atau seperti….

Seperti terurai di atas, sayang sekali, dalam kondisi yang serba carut-marut, masyarakat penganut ungkapan ini sudah mulai lupa untuk memperhatikan manfaat-gunanya. Iya, barangkali oleh karena kesibukannya, atau karena memang tua adat atau orangtua sudah berpikir maju, sehingga semua nilai budaya positif di daerahnya sudah dianggap kuno. Inilah persoalan yang dihadapi saat ini, terutama para penganut budaya neka nu-na tersebut.

BACA JUGA:  Tanggerang Selatan : Ketua RT yang Buta Toleransi

Sejatinya, nilai budaya suatu daerah harus dipertahankan, sekaligus dilestarikan oleh penganutnya. Apa pun alasannya, tidak semua budaya lama itu kuno atau kedaluwarsa. Di antara sekian budaya dalam sebuah daerah, tentu ada yang positif.

Nah, mengapa nilai positif itu dilupakan? Bukankah, selalu kita katakan, lain daerah, lain pula adat-istiadatnya? Dan ketika kita salah dalam berpola tingkah laku, orang lain selalu mengatakan “pantas!, atau dalam bahasa Manggarai nu-na……(seperti).

Untuk tidak sekedar diangkat, maka di bawah ini, akan diberikan contoh ungkapan neka nu-na, sehingga jelas maksudnya.

1) Neka nu-na (jangan seperti):

  1. Neka nu-na kaba nggami-nggemes = Jangan seperti kerbau pelan lagi bodoh (dicocok hidung)
  2. Neka nu kaba, running tekek eng, running lako piang hau nditu aku nditu = Jangan seperti kerbau disuruh memikul beban, ya; disuruh jalan ya, keluar engkau di situ ya, aku di situ ya (ikut saja, meski perintah untuk yang tidak baik, tidak ditolak, semuanya ya saja)
  3. Neka nu tuna, nggali-nggelek = Jangan seperti belut, sangat licin (licik).
  4. Neka nu kaka lelap, ca haju ca haju = Jangan seperti burung, dari satu pohon ke pohon lain (suka berpindah-pindah)
  5. Neka nu acu, ca ngaung ca ngaung = Jangan seperti anjing dari satu kolong ke kolong lain (suka pindah mencari kotoran tai).
  6. Neka nu kode tako mole toe cenger = Jangan seperti monyet melakukan mencuri tidak tahu malu.
  7. Neka nu ka, benggat emtaung ngasang ru = Jangan seperti burung gagak selalu menyebut nama sendiri dll.

Mencermati contoh-contoh di atas, terbersit suatu kesimpulan bahwa neka nu-na, adalah ungkapan yang terbentuk dari kata neka dan nu-na. Kalau berdiri sendiri maka neka (jangan) adalah “kata”, sedangkan nu-na (=seperti) adalah ungkapan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh di bawah ini:

1) Neka = jangan

  1. a) Neka undang na susah ome dia n senang = Jangan undang susah kalau memang sedang senang.(peribahasa)
  2. b) Neka jaong na haen pake toe nuk n rukus = Jangan bicara tentang katak, ingat juga dirimu ketam (jangan bicara kejelekan orang lain, ingat juga kejelekan diri sendiri): peribahasa
  3. c) Neka kengko rengkok = Jangan bangunkan musibah (jangan menginginkan musibah datang) : peribahasa
  4. d) Neka purak mukang wajo kampong = jangan hajar dusun, berkelahi kampung (jangan membuat onar) : peribahasa
BACA JUGA:  Penti Weki Peso Beo, Ungkapan Syukur dan Rekonsiliasi Hubungan yang Retak

2) Nu-na = seperti

  1. a) Nu-na acu = seperti anjing
  2. b) Nu-na kode = seperti monyet (kera)
  3. c) Nu-na ndaot = seperti rusa
  4. d) Nu-na pake = seperti katak
  5. e) Nu-na ka = seperti burung gagak

Ungkapan nu-na boleh disingkat menjadi nu saja. Untuk lebih jelasnya, berikut ini contohnya.

  1. a) Nu acu …= seperti anjing…
  2. b) Nu kode …= seperti kera (monyet)…
  3. c) Nu ndaot …= seperti rusa…
  4. d) Nu pake …= seperti katak…
  5. e) Nu ka…….. =seperti gagak…

Ungkapan neka nu-na merupakan warisan leluhur masyarakat Manggarai. Ia akan bisa hidup manakala penggunanya selalu memanfaatkannya dalam keseharian. Katakan saja, menjelang makan malam, orang tua memberikan nasihat seperti berikut:

1) bertingkah yang bermacam, anak: kalau masih ada senang, jangan diundang susah.

2) Anak, neka kapi-kopet lime agu neka gaku ngu data = Anak, jangan mencuri dan jadikan milik sendiri kalau memang itu milik orang lain.

3) Anak, pota tunin laing mon, pota rangan tau kole = Anak, tunjukkan belakangmu kalau pergi, tunjukkan wajahmu kalau datang.

Secercah uraian sekaligus contoh-contoh di atas, kiranya bermanfaat buat pembaca, terutama masyarakat Manggarai, khususnya Manggarai Barat. Iya, ungkapan neka nu-na ini,  akan hidup terus manakala warga masyarakat sebagai penganutnya selalu berusaha untuk memanfaatkannya dalam keseharian.

Penulis masih ingat ungkapan yang pernah top-hit di tahun 80-an, yaitu ungkapan  dari Mantan Gubernur NTT, dr.Ben Mboi yang mengatakan: “Kalau bukan kita, siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi”*

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button