OPINI

Meredam Resiko Bencana Alam

Oleh : Kornelis Rahalaka

Bencana alam baik yang berskala kecil maupun berskala besar bisa datang setiap saat, di mana saja dan bisa menimpah siapa saja. Hanya saja tingkat resiko yang diterima tergantung pada besarnya ancaman dan tingkat tinggi-rendahnya kerentanan serta kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah.

Keberadaan pulau-pulau di wilayah Indonesia yang berada diantara tiga lempeng tektonik dan menyebabkan Indonesia memiliki kerawanan terhadap berbagai jenis bencana telah lama diketahui. Namun, perhatian yang lebih memadai pada kerawanan bencana baru muncul  beberapa tahun terakhir ini setelah terjadi beberapa bencana alam yang dasyat secara berturut-turut.

Kebijakan pembangunan di Indonesia yang sebelumnya kurang berwawasan kebencanaan pelan-pelan mulai berubah. Penanganan bencana yang sebelumnya cenderung responsif dan spontan, kini mulai bergerak ke arah preventif dan berfokus pada kesiap-siagaan. Pada saat ini sudah banyak kebijakan pemerintah atau produk hukum yang mengatur penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Sebagaimana ditetapkan dalam rencana kerja pemerintah (RKP) tahun 2007 yang diundangkan melalui Perpres Nomor 19 tahun 2006. Mitigasi dan penanggulangan bencana telah menjadi salah satu dari sembilan prioritas pembangunan nasional. Kebijakan  yang kemudian diundangkannya UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.

Sebelumnya pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Negara Perencanaan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Badan Koordinasi Nasional Penanganan  Bencana telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana  (RAN PRB) untuk tahun 2006-2010.

Selanjutnya pada tahun 2008 muncul PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana, PP Nomor 22 Tahun 2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana, PP Nomor 23 Tahun 2008 tentang  peran serta  lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dalam penanggulangan bencana dan Perpres Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (PNPB). Itu adalah bukti bahwa pemerintah  telah mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya penanggulangan bencana.

Sekedar feedback, banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di banyak wilayah di NTT tanggal 4-6 April 2021 lalu telah meluluhlantakan NTT. Bencana ini menimbulkan korban jiwa dan harta-benda serta mengkibatkan berbagai kerusakan infastruktur unit layanan publik.

BACA JUGA:  Lewotana

Peristiwa sejenis kembali terjadi di Labuan Bajo, Mangarai Barat tanggal 20 Januari 2024. Ratusan rumah terendam banjir bandang dan jalan-jalan utama di kota ini macet terendam banjir dan lumpur. Seperti biasa, ketika banjir bandang dan angin kencang datang menerjang banyak orang baru mulai sadar akan pentingnya menjaga alam dan lingkungan. Pemerintah pun mulai sadar pentingnya perencanaan dan strategi yang dibangun untuk mencegah dan menanggulangi bencana alam yang terjadi secara tiba-tiba itu.

Namun, selama ini perencanaan dan strategi serta penganggaran pemerintah daerah untuk menanggulangi kebencanaan masih minim. Dibidang penganggaran misalnya, pemerintah baru mengalokasikan anggaran sebatas alokasi dana tak terduga. Anggaran tersebut lebih digunakan untuk penanganan tanggap darurat pasca terjadi bencana.

BACA JUGA:  Labuan Bajo Kembali ke Empunya : Pertumbuhan Organik Menguat di Tahun 2024

Kebijakan ini menunjukkan bahwa penanganan bencana masih sebatas pada penanganan pascabencana. Paradigma penanggulangan bencana yang hanya bertumpu pada penanganan pascabencana, semakin lama terbukti tidak mampu menjawab persoalan-persoalan diseputar penanggulangan bencana.

Kita sering melihat tayangan media massa, di mana diberitakan bahwa pemerintah daerah sudah tidak memiliki anggaran untuk merespon bencana terjadi, terutama jika bencana tersebut terjadi pada akhir tahun anggaran. Akhirnya komunitas-komunitas yang terpapar bencana mengalami dampak lanjutan.

Dampak yang terjadi misalnya naiknya angka kesakitan terutama kelompok rentan seperti balita, anak-anak, lansia dan lain-lain. Tak jarang terjadi pula konflik terkait dengan pengelolaan pendistribusian bantuan, baik konflik terjadi antara pemberi dan penerima bantuan, maupun antar penerima bantuan.

Berkaca pada bencana alam yang rutin terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Flores dan Manggarai Barat serta mengacu pada lemahnya paradigma penanggulangan bencana, maka kini dibutuhkan sebuah paradigma baru dalam penanganan kebencanaan yang bersifat preventif, komprehensif dan masif.

Langkah preventif dimulai dari perencanaan yang melibatkan seluruh masyarakat di tingkat paling bawah (desa). Wadah musyawarah pembangunan desa (Musrembangdes) dapat mendorong masyarakat untuk berpartisipasi bersama pemerintah desa dalam merancang program-program pembangunan yang berwawasan pengurangan resiko bencana.

Kita ambil contoh, bencana banjir bandang atau tanah longsor dapat dicegah dengan program kegiatan konservasi atau rehabilitasi kawasan hutan yang gundul. Pembangunan pemukiman penduduk mesti memperhatikan AMDAL dan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Demikian pula alokasi anggaran untuk kebencanaan bukan lagi sekedar anggaran tak terduga guna membiayai situasi tanggap darurat atau pascabencana melainkan harus teritegrasi dalam setiap sektor pembangunan sejak dari awal perencanaan.

BACA JUGA:  Polemik Nama Puskesmas “Tana Mori” Pemerintah Minta Rekomendasi Warga

Kesadaran pemerintah untuk masalah kebencanaan boleh dibilang sudah cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan lembaga khusus yang bertugas menangani persoalan kebencanaan. Badan Penanggulangan Bencana Nasional  (BPBN) dan pembentukannya sampai ke daerah-daerah adalah wujud nyata kepedulian pemerintah.

Namun, lembaga-lembaga ini cendrung bertugas menangani masalah-masalah tanggap darurat atau pascabencana. Ibarat pemadam kebakaran, lembaga-lembaga ini hadir pada saat terjadi kebakaran atau pascakebakaran. Padahal, banyak bencana yang dapat dicegah agar tidak terjadi.

Untuk mendorong terwujudnya perencanaan dan penganggaran yang responsif pengurangan bencana, masih banyak hal yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik masyarakat, lembaga-lembaga non pemerintah maupun pemerintah itu sendiri.

Penerapan perencanaan dan pengaggaran yang responsif bencana juga masih berhadapan dengan berbagai kendala, mulai dari kendala di sisi kebijakan, persepsi, hingga ke perilaku masing-masing aktor serta kompleksitas proses perencanaan dan penganggaran.

Untuk itu diperlukan sinkronisasi pembenahan kebijakan, penyamaan persepsi serta perbaikan sikap dan perilaku masing-masing aktor terhadap substansi pengurangan resiko bencana. Yang tak kalah penting adalah adanya ruang dan mekanisme bagi masyarakat dan lembaga-lebaga non pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap proses perencanaan dan penganggaran serta mengevaluasi penggunaan anggaran publik.*

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button