Pertumbuhan wisatawan baik mancanegara maupun domestik ke suatu daerah hampir dipastikan dapat mendongkrak peningkatan perekonomian di wilayah tersebut. Akan tetapi, tumbuhnya industri pariwisata, tidak serat merta berdampak positif baik bagi masyarakat local dan lingkungan sekitarnya.
Kepadatan pengunjung di Pulau Padar, Loh Liang di Pulau Komodo dan Loh Buaya di Pulau Rinca serta di beberapa spot diving atau snorkeling di Kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) tentu berdampak negative pada terumbu karang, biota laut dan populasi binatang purba komodo. Kondisi demikian semakin diperparah oleh kehadiran kapal-kapal wisata yang membuang jangkar langsung ke dasar laut adalah beberapa masalah yang telah berlangsung lama.
Taman Nasional Komodo (TNK) saat ini, oleh banyak pihak menilai telah memasuki over tourism dan over kapasitas. Kondisi ini tentu membawa dampak negatif bagi pariwisata upaya konservasi dan aktivitas pariwisata lantaran melebihi daya dukung lingkungan pariwisata. Keadaan ini pula akan memengaruhi persepsi, kualitas dan pengalaman bagi para pengunjung.
Over tourism merujuk pada keadaan yang berlebihan, terlampau padat atau terlampau banyak wisatawan yang beraktivitas di suatu destinasi wisata sehingga menimbulkan situasi atau kondisi ruang yang tidak lahi aman, nyaman dan mengganggu lingkungan berserta ekosistem yang ada di dalamnya.
Kondisi over torism ini juga memunculkan berbagai protes atau komplain dari para wisatawan maupun masyarakat lokal di mana pengunjung atau masyarakat local merasa bahwa tempat wisata ini sudah terlalu ramai dan tidak nyaman untuk dikunjungi.
Di seluruh dunia, fenomena overtourism sudah muncul dan terjadi di beberapa negara. Protes terhadap over tourism pernah mengemuka di Santorini, Yunani, Venesia, Paris dan Barcelona. Gejala over tourism mulai menunjukkan tanda-tanda sudah dan sedang terjadi di Labuan Bajo, khususnya di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).
Kondisi inilah yang juga menjadi salah satu wacana penutupan TNK pada tahun 2025 mendatang. Pariwisata Labuan Bajo secara kasat mata mulai menunjukkan kondisi overtourism tersebut. Fenomena overtouris dapat dilihat dari sejumlah indikator. Merujuk data jumlah kunjungan beberapa tahun terakhir ini menunjukkan angka kunjungan yang cukup signifikan.
Pasca pandemi covid 19, trend kunjungan terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan.Tercatat, hingga akhir tahun 2023, jumlah kunjungan wisatawan mencapai 423.847 kunjungan. Meskipun angka kunjungan naik namun dampak bagi ekonomi local masih belum optimal. Sementara, destinasi-destinasi wisata baru di luar Kota Labuan Bajo dan TNK belum banyak mendapat perhatian serius dari para pengambil kebijakan. Bahkan sebaliknya, kenaikan jumlah kunjungan wisatawan justru makin melahirkan banyak dampak negative, baik bagi lingkungan hidup, flora dan fauna di darat maupun di perairan/laut dan budaya serta kearifan-kearifan local.
Angka-angka kunjungan, pada dasarnya tidak bisa dibandingkan antara jumlah penduduk dengan jumlah wisatawan. Namun, data-data tersebut kiranya dapat menjadi trigger warning bagi pemerintah dan stakeholder pariwisata di Kota Labuan Bajo untuk membenahi berbagai permasalahan terkait kepariwisataan.
Jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi, semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke suatu destinasi pariwisata, maka semakin meningkat pendapatan yang diterima oleh daerah itu. Dari perspektif ekonomi, merupakan suatu hal yang wajar namun, over tourism sangat berpotensi melahirkan kerusakan-kerusakan baik alam lingkungan maupun budaya di suatu wilayah.
Dalam kepariwisataan, terdapat sistem kepariwisataan yang merupakan interkoneksi dan interdependensi antara suplai berupa atraksi, aksesibilitas, amenitas dan kelembagaan serta demand yakni pengunjung, wisatawan domestik, wisatawan mancanegara dan masyarakat lokal. Keseimbangan antara suplay dan demand pariwisata adalah outcome utama bagi pembangunan kepariwisataan.
Dari sini dapat dilihat bahwa overtourism membutuhkan solusi pendekatan dari sisi penataan tata ruang atau sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan terhadap tata ruang tersebut. Pendekatan ini tentu sangat berhubungan dengan pembangunan kepariwisataan karena kegiatan pariwisata selalu membutuhkan ruang di dalamnya yakni destinasi pariwisata.
Jika seluruh proses berjalan dengan baik, dibangun melalui suatu pola sinergitas antar sektor dan antar stakeholder atau pentahelix maka fenomena over tourism dapat diantisipasi. Jadi, factor penyebab over tourism mesti dilihat secara holistik dan mendasar.
Fenomena kemacetan lalu lintas di sejumlah ruas jalan di Kota Labuan Bajo, menurunnya kualitas dan kuantitas air bersih, polusi udara, kerusakan lingkungan alam di laut dan darat, sampah dan sebagainya bukan merupakan faktor penyebab terjadinya over tourism melainkan indikator terjadinya over tourism.
Penyebab terjadinya over tourism antara lain kurangnya perencanaan kepariwisataan, kurangnya pemanfaatan ruang pariwisata atau destinasi pariwisata, kurang atau tidak adanya upaya pengendalian pemanfaatan ruang pariwisata.
Untuk kondisi saat ini, boleh dibilang, okupansi hotel belum mencapai target, angka kunjungan wisatawan sebenarnya masih rendah, namun daya tampung dan kapasitas Labuan Bajo khususnya TNK sudah tidak lagi mendukung. Apalagi, jumlah penerbangan ke Labuan Bajo semakin “terjun bebas”. Beberapa maskapai pesawat besar melakukan penerbangan langsung ke Labuan Bajo, kondisi demikian, bukan tak mungkin, TNK dan Labuan Bajo akan mengalami over tourism sehingga cepat atau lambat Labuan Bajo khususnya TNK akan ditinggalkan oleh wisatawan. Para wisatawan akan “angkat kaki” dari wilayah ini dan mereka mencari destinasi wisata baru lagi atau ke negera lain.
Tak ada pilihan yang paling ideal untuk dilakukan demi mengatasi over tourism dan atau over kapasitas selain kita kembali ke rumus dasar yaitu konservasi untuk pariwisata. Jangan dibalik! Mengapa? Karena alam dan lingkungan hidup selalu bersahabat dan berdamai dengan manusia tetapi sebaliknya manusia seringkali menjadi predator bagi alam dan lingkungan hidup.*