Kabupaten Nagekeo merupakan salah satu kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2007.
Sejak dulu wilayah ini terkenal sebagai penghasil pangan dan komoditi perdagangan seperti cengkeh, kakao, kopi, vanili, kelapa dan rempah-rempah. Kecamatan Mauponggo terkenal sebagai salah satu kawasan penghasil komoditi perdagangan juga mempunyai kebudayaan yang masih terpelihara dengan baik.
Selain itu, wilayah ini juga memiliki pemandangan alam pantai yang indah. Pantai Enagera memiliki bentangan pasir putih yang mempesona, Meski sebagian besar wilayah Mauponggo terletak di dataran tinggi diapiti gugusan pegunungan yang curam. Namun, Mauponggo merupakan daerah paling subur lantaran terletak di bawah kaki gunung api Ebulobo yang sewaktu-waktu dapat memuntahkan abu vulkanik dari kawah gunung tersebut.
Kawasan Mauponggo menawarkan keindahan alam yang tiada tara. Hamparan sawah, perkebunan cengkeh dan kampung-kampung tua bernuansa tradisional tradisional dapat ditemukan di wilayah ini. Beragam ceritra mitos dan kisah-kisah sejarah yang unik dan bernilai magis-spiritual tinggi dapat ditemukan di daerah ini.
Kampung Dhawe, Desa Woloede, Pajumala, Malalaja, Woloroja, Uluwaga, Wolosambi, merupakan beberapa kampung tua yang memiliki daya tarik wisata menarik. Di kampung-kampung ini kita dapat temukan rumah-rumah adat berusia ratusan tahun yang masih terpelihara dengan baik.
Masyarakat Mauponggo dan Nagekeo pada umumnya masih menjaga dan menghormati berbagai kebudayaan lokal mereka. Mereka masih terus menjaga dan melaksanakan berbagai ritual adat sesuai yang diwariskan oleh nenek moyangnya.
Selain Maumonggo yang kaya terkenal dengan sumber daya alam dan budayanya yang khas, kawasan Wolowae juga tak kalah menawarkan keindahan alam pantai yang mempesona. Wilayah Wolowae terletak di bagian timur kota Mbay, Ibu kota Kabupaten Nagekeo. Di kawasan ini para petualang dapat menikmati keindahan alam pantai Nangateke, Kotajogo dan Teluk Todo.
Kecamatan Wolowae terkenal memiliki padang savana yang membentang luas cocok untuk penggembalaan ternak. Selain untuk penggembalaan ternak, di bagian pantai sangat cocok untuk budidaya rumput laut dan pengembangan industri garam. Wolowae merupakan kawasan yang secara adminstrasi pemerintahan, berbatasan langsung dengan Kabupaten Ende.Selain terkenal sebagai kawasan penggembalaan ternak dan usaha garam, daerah ini sangat kental dengan keragaman budaya yang masih terpelihara secara baik.
Sementara itu, di bagian selatan terdapat kawasan Nangaroro yang memiliki kekayaan alam yang menakjubkan. Pantai Ma’u Embo di Desa Tonggo, Kecamatan Nangaroro merupakan salah satu obyek wisata pantai yang indah. Aktivitas seperti snorkeling atau diving dapat dilakukan di sini. Akses menuju wisata laut Ma’u Embo cukup mudah karena berada di jalur jalan utama trans Flores.
Untuk menelusuri kampung-kampung tradisional di wilayah ini tidak sulit. Demikian pula untuk menjangkau wilayah Keo Tengah yang terletak di bagian selatan ibu kota Mbay. Di wilayah ini berbagai bangunan tua masih kita temukan berdiri kokoh dan terpelihara dengan baik. Kampung Wajo mislanya, terkenal dengan alat musik bambu atau orang Nagekeo menyebutnya ndoto.
Kampung adat ini sangat unik karena memiliki ritual yang mewajibkan setiap pengunjung untuk mengenakan pakaian adat setempat sebelum memasuki areal kampung adat. Kampung Wajo terletak di daerah ketinggian sehingga pengunjung mudah menikmati keindahan alamnya. Menjelang sore, kampung ini sering diselimuti kabut sehingga menambah keindahan suasana alam.
Perjalanan dapat dilanjutkan dengan mengunjungi daerah Boawae. Selain terkenal sebagai daeeah subur, pada zaman dulu, Boawae adalah pusat pemerintahan Swapraja Nagekeo dibawah rezim kononialme. Di kampung ini, terdapat Peo, rumah adat atau Sa’o Waja, Ja Heda, Bo Heda yang memiliki daya pesona tersendiri karena di tempat ini tersimpan berbagai ceritra sejarah dan kepurbakalaan.
Memasuki Kampung Boawae, kita dapat menjumpai Heda yakni semacam museum local, tempat penyimpanan benda-benda purbakala. Ada juga Je Heda merupakan symbol kekuatan yang dilukiskan sebagai patung yang menyerupai seekor kuda.
Sementara, di tengah kampung terdapat Peo yang adalah lambang persatuan masyarakat adat. Di tempat ini biasa diselenggarakan atraksi tinju adat tradisional atau oleh masyarakat setempat menyebutnya Etu. Atraksi tinju tradisional ini sudah menjadi ikon budaya Nagekeo. Setiap tahun, banyak wisatawan yang berkunjung ke kampung ini untuk menyaksikan atraksi etu.
Selain Etu, di tempat ini biasa dipentaskan berbagai tarian seperti toda gu, tarian diiringi alat musik gendang dan bambu dalam nada dan irama yang harmonis. Tarian ini biasa dipentaskan pada upacara skaral seperti pemugaran rumah adat Sao Waja atau penancapan tiang agung di tengah kampung (Pa Peo).Tarian ini dipentaskan sebagai ekspresi keperkasaan dan ketangkasan dalam melindungi tanah air serta harta kekayaan alam yang mereka miliki.
Alamnya yang indah, sumber daya pertanian yang beragam serta potensi pariwisata yang unik, dan menarik hanya dapat bermanfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat jika semua kekayaan itu terus dijaga, dilestarikan dan dikelola dengan baik. Harapan itu disampaikan oleh Petrus Pinggan, seorang petani di Mbay.*