PARIWISATA

Heribertus Ajo : Pariwisata Flores adalah Ekowisata, Bukan Investor Base atau Korporasi Base

FLORESGENUINE.com- Pariwisata Flores sudah lama berkembang menjadi ekowisata. Sejak 30 sampai 40 tahun lalu, Flores sudah menjadi daerah tujuan wisata petualangan atau adventure yang berbasis pada nilai-nilai ekowisata.

“ Karena itu, pariwisata Flores jangan didesain dengan konsepsi super premium yang berbasis pada investor base atau korporasi base,” kata Heribertus Ajo, Dosen Program Studi (Prodi) Ekowisata pada Sekolah Tinggi Christo Re, Maumere yang ditemui Floresgenuine, di Labuan Bajo, Sabtu pekan lalu.

Menurut Heribertus, bicara Labuan Bajo Flores sebagai pariwisata super premium tetapi apa konsepsi-konsepsi dasar, tidak ada. Karena itu, saya berharap, hal ini direfleksikan dan dipikirkan kembali agar orang menemukan konsepsi yang tepat dan benar dalam menata pariwisata Flores di masa mendatang.

Sebab menurut Heribertus, jika salah konsepsi maka berpotensi mengancam eksistensi pariwisata Labuan Bajo Flores, yang dari dulu sudah menjalankan konsepsi ekowisata. Berikut wawancara Kornelis Rahalaka dari Floresgenuine dengan Heribertus Ajo, selengkapnya :

Sebagai dosen sekaligus pelaku wisata yang telah lama bergelut di dunia pariwisata Flores, apa pendapat Anda terkait perkembangan industri pariwisata di Labuan Bajo khususnya dan Flores pada umumnya?

Saya kira banyak orang tidak paham bahwa pariwisata Flores ini sesungguhnya sudah lama berkembang menjadi ekowisata. Sudah lebih dari 30 sampai 40 tahun, pariwisata Flores telah menjadi ekowisata. Flores sudah sebagai destinasi petualangan atau adventure. Flores sudah menjadi destinasi ekowisata, eko tourism. Nah, jika tiba-tiba dijejali dengan konsep super premium, bagaimana? Kalau ditanya, apa jawaban mereka? Kalau ditanya, wajah super premium itu seperti apa? Siapa yang bisa jawab? Paling yang orang tahu bahwa pariwisata super premium itu hanya untuk orang berduit, hanya untuk orang-orang yang kaya, yang mahal karena hanya orang besar dan orang kaya saja yang menikmati pariwisata, Tapi bagaimana pelayanannya seperti apa? Kalau soal sumber daya alam, Tuhan sudah kasih kok. Siapa yang buat pantai-pantai yang indah di Komodo, di Flores ini? Pemerintah? Bukan! Tapi Tuhan yang buat! Namun, masyarakat lolal kemudian tersingkirkan atau disingkirkan secara luar biasa. Ini sebuah pertayaan besar dan mendasar. Untuk apa pariwisata ada di Labuan Bajo, ada di Flores? Kalau kita bicara komoditi base, pasti banyak konsepsi yang bertabrakan. Yang sekarang ini bukan komoditi base tapi investor base, korporasi base. Lalu, kita bicara super premium, tapi apa konsepsi-konspesi dasarnya? Tidak ada. Saya berharap ini direfleksikan dan dipikirkan kembali, agar orang mempunyai konsepsi yang tepat dan benar sehingga sesuai antara konsepsi dengan ciri khas Flores yang sudah ekowisata. Ciri khas Flores itu sudah ekowisata. Wisata petualangan, wisata adventure. Jadi, jangan mengarahkan Flores menjadi Bali atau Singapura. Tapi biarkan Flores tetap menjadi Flores dengan segala keunikan dan keistimewaannya. Hal-hal begini kita harus berani bicara dan berani mereset untuk kemudian dipikirkan kembali.

Perkembangan pariwisata Labuan Bajo Flores sudah sangat pesat dengan segala dampak positif dan negatifnya. Masih bisakah konsepsi ekowisata diterapkan di wilayah yang sudah terlanjur menerapkan investor base atau korporasi base berlabel super premium?

Kalau ada kemauan, saya pikir masih bisa. Tentu perubahan ini sangat menyakitkan. Tapi, selama ada kemauan, tentu saja bisa dilakukan. Saya pikir, tidak perlu ada badan-badan yang dibentuk untuk urusi pariwisata Labuan Bajo Flores. Badan-badan seperti ini stop untuk zaman seperti sekarang ini. Kehadiran badan-badan ini hanya menangkap di ujung-ujung saja setelah pariwisata sudah berjalan lama. Pariwisata Labuan Bajo Flores ini sudah berjalan lama dan sudah menjadi tujuan wisata. Untuk apa ada lagi badan-badan yang dibentuk untuk mengurusi pariwisata. Kehadiran badan-badan atau institusi-institusi baru itu hanya mau mengkapling kepentingan-kepentingan di sini. Kenapa BOP misalnya, tidak diubah saja menjadi badan otorita penanganan sampah. Jadi, jangan hanya ngomong saja. Flores ini sungguh ironi. Orang datang mau lihat obyek-obyek wisata yang indah, tetapi di sebelahnya sampah-sampah berserakan. Tuhan sudah kasih sumber daya alam yang bagus dan indah, manusia Flores yang ramah tamah tapi kota-kota kita kumuh. Tata kelola obyek-obyek wisata kita masih sangat jauh dari yang diharapkan. Pemerintah hanya tahu pungut karcis, tapi tidak memikirkan resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas pariwisata yang merusak. Pemerintah sering berpikir bahwa apa yang telah mereka pikirkan dan kerjakan itu yang paling benar. Mereka jarang mau mendengarkan bagaimana praktisi omong, kepala kampung atau kepala desa bicara. Terlepas dari pesimistis saya, saya masih optimistis bahwa semua ini masih bisa diperbaiki dan diubah, direfleksikan dan dipikirkan ulang. Diredesain agar pariwisata Flores tak lagi mengulangi kesalahan yang telah terlanjur dibuat. Di mana-mana di wilayah lain, sudah terjadi over kapasitas, over tourism yang banyak menimbulkan masalah lingkungan dan masalah social yang luar biasa.

BACA JUGA:  6 Cabang Lomba MTQ Tingkat Kabupaten Manggarai Barat Ke-30 Tahun 2024

Apa solusi alternative yang dapat Anda tawarkan?

Kembalikan Flores dengan hakikat dasar sebagai destinasi ekowisata. Mengajak semua stakeholders untuk menjaga kesehatan ekologis. Bagaimana agar dunia pertanian kita menjadi dunia yang ramah lingkungan dengan tidak lagi menggunakan zat-zat kimiawi tetapi menggunakan herbisida yang ramah alam dan lingkungan. Demikian juga kita harus menjamin pangan-pangan kita yang sehat dan organik, bagaimana agar nelayan kita menjaga alam lautnya dengan tidak menggunakan zat-zat yang membahayakan terumbu karang. Jangan lagi melihat modernisasi di sutau daerah identik dengan kehadiran para wisatawan yang banyak. Mungkin kita butuh wisatawan yang banyak, tapi kalau tidak didukung dengan tata kelola yang baik, apa tidak mengancam dan membahayakan masa depan pariwisata dan lingkungan kita? Jangan macam sekarang, pengelolaan pariwisata dengan melibatkan fendor-fendor yang akhirnya memunculkan masalah. Kenapa tidak mengimpower saja institusi-institusi yang sudah ada seperti BTNK, Dinas Pariwisata Kabupaten, Propinsi dan Kemenparekraf? Sudah ada pula organisasi-organisasi profesi seperi ASITA, HPI, PHRI dan lain-lain. Belum lagi fendor-fendor atau perusahaan-perusahaan tersebut belum tentu punya kapasitas dan kualifikasi dalam urusan pengelolaan pariwisata atau konservasi lingkungan. Keberadaan badan-badan atau institusi-institusi itu juga tentu membutuhkan anggaran yang luar biasa besar. Saya berharap, pemerintah kita tidak cepat-cepat terapkan berbagai kebijakan tanpa memperdalam tinjauan. Konsep-konsep pembangunan harus dibahas dulu, dikonsultasikan dulu, disosialisasikan dulu dengan baik.

BACA JUGA:  Kendaraan yang Parkir di Trotoar Labuan Bajo Kena Denda 250 Ribu atau Kurungan 1 Bulan
Panorama pariwisata di kota Labuan Bajo. (foto : Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Bagaimana Anda menyikapi kompleksitas pengelolaan pariwisata di wilayah ini?

Saya lihat seperti makan buah simalakama atau lebih tepat, bukan salah ibu mengandung. Mimpinya mau jadi super premium, tapi tidak tahu bagaimana mengatur tata kelola pariwisata yang baik di daerah ini. Akhirnya, yang terjadi adalah mass tourism dengan segala kompleksitas masalahnya yang terjadi hari-hari ini. Jadi, memang kita butuh refleksi dan rethingking oleh pihak otorita. Tapi jangan salah bahwa otorita-otorita seperti itu, biasanya lebih bersifat mengatur, bukan untuk mengkoptasi atau menguasai, Pasalnya, yang punya otorita dasar adalah orang-orang kampung seperti tokoh adat, kepala desa dan lain-lain karena mereka itulah yang punya otorita dasar dan kedaulatan atas sumber daya alam, budaya, dan lingkungan di wilayahnya. Merekalah yang mempunyai orisionalitas kebudayaan dan kearifan-kearifan lokal. Jangan sampai semua itu hilang akibat intervensi yang berlebihan dari kekuasaan atau pihak luar. Jangan sampai desa-desa dipretelin sehingga suatu waktu kondisi desa menjadi menor. Jika salah mengambil kebijakan dalam tata kelola pariwisata oleh tangan-tangan kekuasaan yang tak benar maka  pariwisata ke depan akan menjadi sesuatu yang mengkwatirkan masyarakat Flores. Kita perlu menjaga agar pariwisata Flores tidak salah dikelola. Jika otorita-otorita kekuasaan itu mengambil langkah yang salah maka akan salah semuanya.

BACA JUGA:  Polres Manggarai Barat Serahkan 2 Tersangka Pengedar Narkotika di Labuan Bajo ke Kejaksaan Negeri Mabar

Bagaimana pandangan Anda terkait konsepsi ekowisata dengan konservasi lingkungan?

Orang bisa saja salah kaprah tentang hal ini. Ekowisata tidak berarti mengubah segala apa yang sudah ada di masyarakat. Apakah kearifan-kearifan lokal, kebudayaan, tradisi, adat istiadat serta berbagai filosofinya. Misalnya Wae Rebo, Kampung adat Bena dan di destinasi-destinasi lain tentu mempunyai keunikan-keunikan sendiri, punya beragam nilai kekayaan dengan segala karakteristik yang melekat pada destinasi-destinasi tersebut. Ini yang harus tetap kita jaga dan pertahankan, lestarikan tapi bukan mengubah seenaknya oleh pihak lain. Destinasi ekowisata siapa pun harus menjaga dan merawatnya. Jangan sampai, isinya justru dikuasai oleh investor atau korporasi, sementara masyarakat lokal sebagai pemilik kedaulatan atas segala sumberdaya alam justru terlempar keluar atau bahkan menjadi tamu di rumahnya sendiri.*

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button