“ Rasa sayang e, rasa sayang, sayang e, Ee, lihat dari jauh, gunung Mutis sayang e…
Ketika gunung Mutis didaulatkan menjadi Taman Nasional (TN), warga lokal merasa enggan menerimanya begitu saja. Malahan protes menolak pun bermunculan yang ditujukan kepada penentu kebijakan negara.
Membaca pemberitaan tersebut, tiba-tiba akal budiku menerawang jauh ke belakang hingga membangkitkan kembali memori perjalanan dari Kupang menuju Nenuk, Atambua pada Juli 1988.
Selama bepergian saat itu dengan menumpang bus Gemilang, gunung Mutis yang berada pada 2.458 mdpl dirasakan betapa memanjakan mata. Ya, kenangan sekitar 36 tahun silam hampir tak mudah dilupakan.
Bila dikisahkan, toh tak akan ada habisnya. Tapi, aku hanya bergumam dengan suara sauk: rasa sayang pada Gunung Mutis. Secuil ungkapan sayang sebagai respons dari dalam jiwaku dibalut peduli, empati terhadapnya nun jauh di Nusa Cendana – Pulau Timor, NTT.
Aku menaruh rasa kagum akannya. Sungguh luar biasa, betapa keberadaan gunung tersebut sejak sedia kala dan barangkali hingga kini tak terkira manfaatnya, tidak hanya bagi siapa saja yang melakukan perjalanan, namun terutama bagi komunitas manusia yang tinggal di sekelilingnya.
Namun, apa gerangan protes warga muncul pada momen gunung itu ditetapkan pemerintah menjadi Taman Nasional?
Rasa-rasanya, warga diterpa kegelisahan akan ada lagi kebijakan negara pro korporasi yang tidak memedulikan aspirasi dan sudut pandang yang disampaikan dalam setiap kesempatan pertemuan, dialog dan sosialisasi menyangkut pengelolaan Gunung Mutis.
Dan aku pun turut merasa tidak nyaman, saat gunung yang satu ini digadang-gadang menjadi salah satu sumber ‘dulang duit’ yang direncanakan dari “atas” bagi warga lokal dan juga negara dari setiap zona masing-masing di Taman Nasional Gunung Mutis.
Pada umumnya, masyarakat lokal tidak segera well come begitu saja pemikiran aparatus negara yang berwenang bahwa mengatur kawasan demi kemakmuran. Bangsa di bawah kolong langit di dekat gunung tersebut berpendapat nasibnya akan tergusur. Mereka sudah mampu mempertahankan hidup dari wilayah gunung yang satu ini sesuai horizon – sudut pandang yang telah dimiliki ratusan tahun tanpa intervensi para pemodal asing.
Memang ada tanggapan-tanggapan atas protes beragam yang diuber warga ke ruang publik. Sepintas terbaca, seakan ada keberpihakan dari para pemegang kebijakan. Malahan para calon Gubernur NTT pun tak sepi menjadikan materi diskusi soal protes sosial warga atas penetapan tersebut disiasati dengan janji: “…kalau terpilih, akan diselesaikan…”.
Akan tetapi, apakah substansi protes yang memuat tuntutan agar sejak dini negara mengapresiasi aspirasi keadilan sosial dalam segala aspek bagi warga yang terkena dampak langsung atas rencana pembangunan Taman Nasional bakal terwujud? Bisa saja terlaksana berkah ‘demokrasi korporasi!’
Apabila demokrasi ini kokoh maka bakal mungkin terjadi masyarakat agak sulit keluar dari ketertindasan, kemiskinan, ketimpangan, kebodohan dan kehinaan (Ichsanuddin Noorsy. Bicara Demokrasi Korporasi Indonesia dan Nasib Rakyat, 10 Agustus 2022, diakses 8 November 2024, EDISI.CO.).
Bisa juga akan menjadi kenyataan sejauh ‘demokrasi dari rakyat untuk rakyat’ tidak dibelokan! Bisa langsung dirasakan rakyat kebanyakan sejauh visi misi pengelolanya dituntun konstitusi UUD 45 ialah Indonesia bebas merdeka, berdaulat, maju adil dan makmur (Kritik Pemerintah Noorsy: Rezim ini Patuh pada Kebijakan Neo-Liberal, Kamis 13 Oktober 2022, diakses 8 November 2024, www.radiosilaturahim.co).
Bagiku membingungkan: di bumi ini banyak orang jadi enak karena ucapan-ucapannya tidak jelas sebab ketakutan bersikap, berpikir dan melangkah.
Aku sebagai rakyat jelata, berpikir dalam kecemasan: mengapa kebijakan pemerintah masih belum menjadi perwujudan amanat penderitaan warga lokal. Lantas, apakah pikiranku sedang dibalut rasa cengeng bahwa program Taman Nasional berlokasi di gunung Mutis tidak bermanfaat bagi rakyat di Nusa Cendana dan rakyat kebanyakan di pulau-pulau NTT?
Atau apakah negara ini tidak mendapat keuntungan? Mungkin pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya dapat terurai. Toh, jangan lupa gerakan aksi konkret, seperti CSR (Corporate Social Responsibility-tanggung jawab sosial) langsung menyentuh mayoritas rakyat yang tersekap nasib malang.
Sebab, rakyat adalah manusia yang mesti dipenuhi kebutuhan dasarnya dan hak-hak hidupnya. Dan ini mengandaikan ada pemimpin yang berkarakter seperti pepatah Latin: “Ad alteram partem-mendengarkan yang berbeda” dan mempunyai pikiran “Putting the Last First-mengutamakan yang terakhir”. Pemimpin yang bergaul dengan rakyat, mendengar denyut nadi jantung rakyat dan dengar suara rakyat pernah bangsa ini miliki: Soekarno.
Soekarno menyadari, kesengsaraan rakyat tidak akan hanya berakhir dengan pemerdekaan bangsa dari okupasi penjajahan. Ia pun mengetahui bahwa akan adanya betapa dahsyatnya penjajahan berwajah baru berupa korporasi kapitalis. Dan menjelang hari-hari akan tibanya kemerdakaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Soekarno sebagai salah seorang pendiri bangsa menyampaikan pemikiran yang gemilang tentang peluang akan adanya kapitalisme yang senantiasa bergerak sepanjang zaman, baik di masa kolonial maupun pada masa kemerdekaan serta pascakemerdekaan.
Sebelum kemerdekaan, Soekarno menyampaikan kegelisahan intelektualnya soal kapitalis. Dalam kemerdekaan akal budinya, ia berpidato pada 1 Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI):
“Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang memberi sandang pangan kepadanya?” (Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945).
Dan Paus Yohanes Paulus II pun pernah mengingatkan akan kapitalisme ketika berkunjung di Meksiko pada 1990: “Kita harus hati-hati dan jangan melihat perubahan-perubahan di Eropa Timur sebagai kemenangan kapitalisme seperti satu-satunya jalan untuk dunia sesudah komunisme kalah. Kita tidak boleh lupa masalah-masalah, seperti kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan yang disebabkan oleh kapitalisme dari Dunia Ketiga”.
Penulis, rakyat jelata, tinggal di Wairpelit-Maumere, Flores