OPINI

Berani Mengkritik

Oleh: Arnoldus Nggorong

Masih segar dalam ingatan kita ‘Petisi Bulaksumur’. Pada mulanya adalah ‘Petisi Bulaksumur’. Para akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), yang tergabung di dalamnya, mengkritik Presiden Jokowi, yang dianggap telah melakukan tindakan-tindakan menyimpang dalam proses penyelenggaraan negara (cnnindonesia.com 31/1/2024).

Peristiwa itu memantik kesadaran sejumlah akademisi lainnya untuk turut serta melakukan kritik terhadap Presiden Jokowi seperti dari UII Yogyakarta, UI Jakarta, Unpad Bandung, Unhas Makasar, Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin (tribunnews.com 2/2/2024). Kritik yang sama pula datang dari sejumlah akademisi lainnya yang tidak sempat disebutkan di sini.

Para akademisi itu menyampaikan kritik secara terang-terangan dan dilakukan dalam kelompok pula. Mereka mempunyai pemahaman bersama bahwa Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, terutama menjelang akhir masa jabatannya, telah menyimpang dari prinsip-prinsip moral-etika, demokrasi, kerakyatan dan keadilan sosial dalam mengelola Negara.

Mereka memandang Presiden Jokowi yang pada awal mula berkuasa menelurkan dan melaksanakannya konsep pembangunan revolusi mental, kini tidak lagi konsisten dengan konsepnya itu.

Namun jauh sebelumnya, intelektual yang radikal, jujur, berani, dan lantang, Rocky Gerung, telah lebih dahulu melakukan kritik yang lebih tajam terhadap kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi. Terlebih lagi dalam periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, Kritik Rocky Gerung menjadi semakin menukik. Itu dilakukannya secara sendirian, tanpa ‘bekingan’ apa pun dan siapa pun, kecuali akal sehat. Dia pun mendapat julukan ‘presiden akal sehat’.

Tidak Percaya Diri

Perihal beking-membekingi, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di negeri ini, dalam pelbagai kasus yang terjadi, bila diperhatikan dengan cermat, hampir selalu dihubungkan dengan oknum tertentu dengan kedukukan atau posisi tertentu yang lebih tinggi dalam institusi negara.

Dengan lain perkataan, jabatan, pangkat dan pengaruh dapat menjadi tameng (beking) bagi si pemilik itu sendiri, atau orang tertentu, atau kelompok tertentu untuk mendapat keringanan atau pun untuk memperoleh kemudahan dalam hal urusan tertentu, dan bahkan dibebaskan dari kasus yang menimpanya.

Deskripsi tentang kondisi tersebut dapat ditemukan dalam kata beking. Kosa kata ini cukup akrab dalam bahasa pergaulan khususnya dalam beberapa bulan ini. Bila ditelusuri, kosa kata beking merupakan serapan dari bahasa Inggris backing, yang memiliki arti dukungan, sokongan, dalam bentuk apa pun (makna denotasi). Dalam perkembangan selanjutnya makna denotasi kata backing mengalami pergeseran.

TribunKaltim.com menulis, seperti dikutip dari Tribun Sumsel, kata backing dipahami sebagai bantuan untuk orang lain atau pertolongan yang diberikan orang lain. Dengan demikian, orang yang menjadi bekingan akan siap siaga dan selalu ‘pasang badan’ untuk membantu orang yang terlibat di dalamnya (TribunKaltim.com 12/1/2023). Selanjutnya dijelaskan, backingan atau bekingan adalah orang yang siap dijadikan tameng atau pelindung ketika terjadi masalah atau keadaan yang menyudutkan.

Kasus berikut dapat menjadi contoh yang menerangkan makna kata beking. Keterlibatan Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Setelah melakukan pendalaman atas kasus tersebut, predikatnya pun diganti menjadi otak pembunuhan berencana (Kompas.com 10/8/2023).

Statusnya sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dengan bintang dua pundaknya membuat penyelesaian kasus terhadapnya pun bertele-tele. Berdasarkan catatan Detiknews.com, sejak kematian Brigadir Yosua diumumkan ke publik 11 Juli 2022, yang mulanya dinarasikan secara cerdik dan apik dengan kasus polisi tembak polisi, Ferdy Sambo baru divonis oleh Mahkamah Agung dengan hukuman seumur hidup yang bersifat inkrah pada 8 Agustus 2023 (Detiknews.com 8/8/2023). Kasus ini pun terungkap setelah mendapat tekanan publik termasuk dari Mahfud MD yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Koodinator Hukum dan HAM.

Contoh lainnya adalah kasus korupsi yang menjerat Setia Novanto, Mantan Ketua DPR RI, yang terkenal dengan sebutan ‘papa minta saham’ (Detik.com, 30/12/2015). Kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Firly Bahuri (kompas.com 9/8/2024), mafia tambang illegal (kompas.com 24/1/2024) dan beberapa kasus lain (dapat ditelusuri dalam jejak digital).

Kalau direfleksikan lebih dalam, hal beking-membekingi dalam kasus di atas menunjukkan ketidakpercayaan diri. Dikatakan tidak percaya diri karena si pelaku menggunakan faktor di luar dirinya sendiri untuk membela dirinya. Dengan kata lain, dia tidak percaya dengan kemampuan dirinya sendiri. Maka dari itu, si pelaku memanfaatkan unsur di luar dirinya demi memberikan dukungan terhadap dirinya sendiri.

Sisi lain perihal beking ini memberi petunjuk adanya potensi melanggar aturan. Bila melanggar aturan dengan sendirinya memperlihatkan adanya masalah. Seseorang yang terlibat dalam masalah akan merasa takut, ragu. Itulah kondisi yang membuatnya tidak percaya diri.

Lebih dari itu, soal beking-mebekingi ini pun melawan nilai kejujuran, mencederai pendidikan karakter. Dalam konteks sekarang ini, pendidikan karakter dalam hal keteladanan terutama dari sebagian besar pemimpin negeri ini sedang berada dalam kondisi kedaruratan.

BACA JUGA:  AMMTC Bahas Terorisme Internasional dan Penegakan Hukum

Sekadar Mengingat

Sikap kritis para akademisi mengingatkan saya akan kisah yang ditulis Denny J.A. dalam bukunya “Visi Indonesia Baru Setelah Reformasi 1998”. Di dalamnya Denny J.A menulis sebuah kasus yang terjadi di Amerika Serikat sekitar tahun 1994. Waktu itu AS dipimpin oleh Presiden Bill Clinton.

Kasusnya adalah perbedaan politik antara pemerintahan Bill Clinton dan para ahli ekonomi tentang kerjasama hubungan perdagangan antara AS dan Jepang yang lebih direncanakan. Waktu itu Jepang dianggap sangat sedikit mengimpor barang dari AS. Presiden Clinton pun merencanakan untuk bertemu Perdana Menteri Jepang, Marihio Hosokawa tanggal 11 Februari 1994 demi membahas rencana tersebut.

Rencana kerjasama hubungan dagang itu mendapat protes keras dari 50 ahli ekonomi, yang di dalamnya terdapat lima orang pemenang hadiah nobel. Menurut mereka, yang diperlukan dunia adalah perdagangan bebas yang berdasarkan pasar yang diatur oleh perjanjian internasional, bukan oleh target yang ditentukan oleh para birokrat dan politisi.

Sebab pada waktu itu, kebijakan ekonomi Gedung Putih dirumuskan oleh dominasi para ahli hukum dan ahli politik, bukan para ekonom. Dalam pandangan ahli hukum dan ahli politik, perdagangan internasional adalah soal menang dan kalah.

Para ekonom pun menentang pandangan itu. Bagi mereka, kerjasama yang saling menguntungkan selalu mungkin terjadi dalam perdagangan internasional. Alhasil,50 para ahli ekonomi, yang didominasi warga AS, melayangkan surat yang isinya melawan presidennnya sendiri. Mereka mengajak pemimpin negara lain untuk menolak rencana tersebut.

Cuma Penanda

Ilustrasi di atas, dalam arti tertentu, mungkin saja tidak sesuai dengan kondisi Indonesia kini. Lagipula konteks dan latarnya juga berbeda. Perbedaan itu tampak sebagai berikut. Pertama, Amerika Serikat lebih menekankan kebebasan yang sekaligus menjadi jargon utamanya. Sedangkan Indonesia, walaupun secara tekstual, kebebasan tertuang dengan amat jelas dalam konstitusi UUD 1945, namun secara kontekstual, dalam implementasinya samar-samar, ‘abu-abu’, ilam-ilam.

Deskripsi yang lamat-lamat itu dapat ditemukan dalam cara melihat figur pemimpin. Dalam konteks ini, pejabat negara dipandang sebagai figur yang diperlakukan seperti seorang ‘raja’. Perspektif ini, lebih-lebih, tertanam cukup kuat dalam budaya patriarkat-feodal. Alhasil, seluruh ucapan, sikap dan perilaku warga biasa serta merta terkondisi untuk menghormati si pejabat. Dengan lain kata, sudut pandang yang stereotipikal ini hanya terdapat dalam kultur feodal, yang masih mengakar dalam diri para pemimpin dan juga warga masyarakat Indonesia pada umumnya.

Perspektif itu pula yang menjadi cikal bakal pasal penghinaan yang kerapkali dipakai oleh oknum dan kelompok tertentu untuk melaporkan siapa saja yang diduga kuat telah melakukan penghinaan. Di sini dapat disebutkan sebagai contoh Roky Gerung. Dia pernah dilaporkan ke polisi lantaran menyebut Presiden Jokowi sebagai ‘bajingan tolol’. Atau juga dia pernah dilaporkan karena menyebut ‘kitab suci’ adalah fiksi (bisa ditelusuri secara digital). Cuma sekadar intermezzo.

Kedua, tingkat peradaban bangsa AS sudah maju. Sudah umum pula diketahui bahwa AS, dengan julukan negeri Paman Sam, adalah salah satu negara maju (tergolong dalam negara-negara G7), bahkan disebut negara adidaya. Tak kalah menariknya juga adalah AS menjadi negeri impian banyak orang.

Sedangkan Indonesia masih ‘merasa nyaman’ dengan predikat ‘negara berkembang’. Meskipun sejumlah pemimpin (pejabat) seringkali mendengungkan Indonesia Emas 2045 sebagai cita-cita mulia, namun ucapan itu cuma sekadar ‘pembangkit’ emosi massa yang sedang terpana dalam keasyikan menikmati kata-kata ‘indah’ sang pemimpin yang penuh gelora.

Penanda lain yang mengafirmasi kondisi tersebut adalah setiap kali pergantian Menteri Pendidikan, bersamaan dengan itu kurikulum pendidikan pun diganti. Seolah-olah kurikulum pendidikan sebelumnya kurang bermutu, harus diganti. Seakan-akan pula kurikulum baru dipandang lebih berkualitas, yang diyakini dapat meningkatkan mutu pendidikan, menuntaskan kompleksitas permasalahan pendidikan yang karut-marut.

Yang tak kalah menghebohkan juga adalah banyaknya pekerja Indonesia yang pergi ke luar negeri hanya untuk menjadi pembantu rumah tangga atau menjadi buruh kasar semakin mempertegas kenyamanan atribut, Indonesia sebagai negara berkembang. Lalu sebutan eufemistis, yang bernada sanjungan, dilekatkan pada mereka sebagai ‘pahlawan’ devisa, yang membuat para pekerja ‘terhipnotis’. Mereka lupa akan bahaya yang mengancam nyawanya.

Walaupun nanti di antara mereka ada yang mengalami penyiksaan oleh majikan yang bahkan berujung pada kematian, namun tidak membatalkan niat mereka untuk berbondong-bondong pergi mencari kerja di luar negeri dengan bekal pengetahuan seadanya. Anehnya, peristiwa itu tidak mengganggu nurani pejabat.

Lagipula, bila melihat kondisi faktual saat ini, pendidikan tidak mendapat prioritas utama dan urgen. Dengan kata lain, bukan pendidikan yang menjadi panglima, tetapi politiklah yang menjadi panglima. Akibatnya adalah sumber daya manusia para pekerja kita hanya mampu menjual tenaga, para pejabat pun hanya mempertontonkan debat kusir yang dibalut sentimen, bukan argumen. Ini sekadar selingan.

BACA JUGA:  Menemukan Ibukota Flores, Menuju Masa Depan Emas

Alam Demokrasi

Dalam negara demokrasi modern, prinsip kebebasan dan kesetaraan adalah dua point yang mendapat aksentuasi dalam kehidupan bernegara. Prinsip ini menjadi dasar bagi Pemimpin di Negeri Paman Sam, yang secara konsisten menerapkan sistem demokrasi yang memberi ruang bagi rakyatnya untuk mengoreksi, mengkritik dan malah menggugat kebijakan Presidennya sendiri. Bahkan gugatan yang lebih radikal lagi adalah para pengkritik mempengaruhi pemimpin negara lain untuk tidak menerima rencana program pemimpinnya.

Lebih dari itu, pemimpinnya tidak bersikap ‘alergi’ terhadap para pengkritik itu, tetapi ia mengajak mereka untuk berdialog. Dialog memungkinkan kedua belah pihak saling bertukar pikiran, beradu argumen. Dialog membongkar sekat-sekat prasangka.

Sekaligus, yang jauh lebih bermakna adalah mereka menunjukkan sikap penghargaan. Dasarnya adalah keberagaman. Dari asalnya, manusia hidup dalam keberagaman. Sebab manusia diciptakan berbeda satu dengan yang lain.

Dengan demikian berbeda pula pikirannya. Maka, dalam formula yang sederhana, dialog adalah jalan untuk mempertemukan mereka yang saling berbeda pandangan, menemukan solusi, serentak dengan itu pula menjadikan penghargaan terhadap perbedaan sebagai nilai yang patut dilestarikan.

Andaikata peristiwa itu terjadi di Indonesia, maka dapat dipastikan bahwa kelompok tersebut akan dituduh melawan Pemerintah yang sah, subversif, menghambat pembangunan, melakukan makar. Seolah-olah para pengkritik itu bukan warga negara yang sah, yang juga memiliki hak untuk melakukan kritik. Lalu atas dasar alasan tersebut para pengkritik dapat saja ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Nasib naas itu pernah dialami oleh para pengkritik yang tergabung dalam ‘Petisi 50’, misalnya.

Bangkitnya Kesadaran Kritis

Dengan frasa kebangkitan kesadaran kritis, saya tidak bermaksud mengatakan, pada masa sebelumnya para akademisi tidak kritis, karena mereka terbuai oleh kenikmatan rasa ‘nyaman’ di ruang kuliah, mereka terlena dalam ’tidur lelap’ di menara gading keilmuwannya, atau mereka tersanjung oleh deretan gelar yang berjejer apik di depan dan di belakang namanya. Atau pun bersikap apatis. Mungkin saja pembaca dapat beranggapan demikian, tapi sekali lagi saya tidak bermaksud demikian.

Justru seluruh rasa nyaman di atas ditinggalkan oleh para akademisi untuk ‘turun gunung’ dan menyuarakan suara dari orang-orang yang tak mampu bersuara. Kegelisahan mereka tidak lagi tersembunyi dalam diskursus di ruang-ruang kuliah. Mereka mendemonstrasikan kegelisahan dan kerisauannya secara terbuka dan lantang di depan publik.

Hemat saya, paling kurang, kesadaran kritis ini memperlihatkan, pertama para akademisi tidak ingin mengulangi lagi pengalaman yang pernah terjadi pada masa orde baru. Kedua, cita-cita reformasi mesti dijaga dan tetap lestari. Ketiga, generasi berikutnya harus diwarisi nilai-nilai luhur Pancasila dalam mengelola negara. Keempat, merawat pendidikan karakter dengan menunjukkan keteladanan dalam hal mengejawantahkan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara.

Berani Mengkritik

Bila melihat secara cermat keputusan yang diambil oleh sejumlah akademisi yang mengkritik Presiden Jokowi, yang selama ini disanjung karena penampilannya yang ndeso, rajin blusukan, merakyat, dengan posisinya yang semakin kuat lantaran kecerdikannya menempatkan orang-orang yang pernah bekerja di institusi TNI dan POLRI di dalam kabinetnya, dapat dikatakan bahwa dibutuhkan suatu keberanian dalam diri untuk mengambil risiko atas keputusan tersebut. Termasuk menghadapi segala macam pendapat, penilaian, tuduhan, dan penghakiman.

Keberanian sikap inilah, yang dengan sengaja, sadar, tahu dan mau, diambil oleh mereka. Sebab dampak dari tindakan berani itu telah menimbulkan dua sikap yang berkembang di tengah masyarakat. Ada yang mendukung, ada pula yang sinis bahkan tak sedikit juga yang menentang mereka. Para akademisi itu pun dituduh mencari panggung, mengejar popularitas, membuat sensasi, dan ungkapan lainnya yang sejenis.

Kembali ke fitrah ilmu

Kesucian pengetahuan menemukan kedalaman maknanya dalam penemuan diri yang sejati. Sebab pengetahuan yang benar bertujuan memuliakan kemanusiaan, yang dirumuskan dengan indah dalam sila kedua Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sederhana dapat dikatakan, manusia yang beradab adalah manusia yang memadukan di dalam dirinya teori dan praktik.

Itulah diri yang sejati yang mengandaikan persesuaian antara theoria dan praxis. Pengetahuan memberikan landasan kokoh untuk bertindak. Aksi adalah buah dari pengetahuan yang baik dan benar, mengafirmasi dan menjustifikasi pengetahuan.

Keduanya saling mengandaikan, tidak bisa saling meniadakan. Sebab theoria tanpa praxis adalah tidak berdaya; praxis tanpa theoria menjadi buta. Itulah yang disebut pembatinan ilmu, demikian John Manford Prior (Menukik Lebih Dalam hal. 35). Dalam bahasa yang sederhana, perkataan dan perbuatan sejalan, seirama.

Dengan demikian dapat dikatakan, ilmu menuntun orang kepada kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Dengan kata lain, nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan adalah landasan pijak dalam keseluruh hidup setiap orang. Mengabaikan nilai-nilai tersebut sama dengan mendatangkan masalah, memelihara kebohongan. Persis inilah yang terjadi dengan kondisi Indonesia saat ini.

BACA JUGA:  Dibutakan Kekuasaan

Salah Paham

Kalau mencermati cara orang, pada umumnya, terlebih penguasa, bereaksi terhadap kritik, sikap yang amat menonjol adalah protektif. Sikap protektif ini bukanlah soal, bila kritik direspons dengan argumentasi rasional. Sikap ini menjadi masalah, justru, karena tanggapan yang diberikan berbasis sentimen.

Kondisi ini tampak jelas dalam kalimat berikut. “Kritik harus konstruktif.” “Jangan hanya pandai mengkritik, tapi juga harus memberi solusi.” “Kritik harus dengan cara yang santun.” Contoh kalimat ini menunjukkan kesalahpahaman mengenai kritik. Dengan demikian kata kritik pun mengalami peyorasi. Kritik dilihat sebagai sesuatu yang buruk, momok, penghalang kemajuan.

Jika disimak lebih dalam, pada hakekatnya, kritik di dalam dirinya sendiri, an sich, mengandung unsur motivasi. Dengan motivasi memaksudkan suatu dorongan atau rangsangan untuk melakukan transformasi, pembaharuan secara radikal. Dengan kata lain, kritik mengaktifkan seluruh sumber daya untuk berada dalam kondisi mawas diri, berjaga-jaga, waspada, kesadaran. Kewaspadaan ini mengkondisikan supaya tetap berada dalam jalur yang sebenarnya.

Contoh kritik yang paling ekstrim berasal dari filosof Jerman, Friedrich Nietzsche, dalam pernyataannya, “Tuhan sudah mati.”

Jika kritik Nietzsche ditanggapi secara sentimental, maka akan terjadi pertengkaran, perkelahian yang berujung pada saling membantai, saling membunuh di antara sesama manusia. Sebaliknya bila tanggapan berlandaskan akal sehat, maka masing-masing orang akan berusaha untuk melakukan perbaikan, pembenahan dan pembaharuan.

Reaksi yang sentimental terhadap kritik hanya datang dari mereka yang dangkal pengetahuannya, dalam hal ini bodoh, dungu. Maka tidaklah mengherankan orang-orang seperti itu cenderung otoriter, antikritik, terlena dengan kemapanan. Ketakutan, kecerobohan, kepanikan, keputusasaan adalah gambaran dari kebodohan dan kedunguan.

Sedangkan ketenangan, kehati-hatian, kematangan mencirikan sikap orang-orang cerdas dalam menanggapi kritik. Mereka mampu menangkap makna terdalam, pesan yang tidak terungkap, esensi dari kritik. Optimisme, harapan, dan hal-hal positif mewarnai cara pandang mereka, betapa pun kritik itu menyakitkan.

Tokoh yang Menginspirasi

Contoh yang paling sempurna dalam hal menanggapi kritik dapat ditemukan dalam diri Yesus, Isa Almasih. Dia adalah tokoh yang menjadi besar dan sangat berpengaruh, justru, karena kritik. Sejak kelahiran hingga kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus selalu mendapat kritik dari ahli-ahli taurat, kaum Farisi, dan orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya.

Pelbagai tuduhan pun dialamatkan kepada Yesus seperti penyebar ajaran sesat, penghujat, kepala Beelzebul, penghulu setan. Malah keraguan dan ketidakpercayaan kepada Yesus, Juru Selamat, Penebus, masih ada sampai saat ini.

Namun Yesus tidak pernah menggunakan cara-cara premanisme menanggapi kritik yang ditujukan kepada-Nya. Dia selalu berhasil mematahkan argementasi lawan-lawannya dalam setiap perdebatan. Yesus menunjukkan kewibawaan sebagai tokoh yang datang dengan semangat cinta kasih yang radikal, tidak melihat lawan debat sebagai musuh.

Dengan kata lain, Yesus tidak memiliki musuh. Malah sebaliknya, Dialah yang dipandang oleh lawan-Nya sebagai musuh yang harus disingkirkan dengan pelbagai cara, dan itu tampak dalam kematian Yesus di kayu salib.

India mempunyai Mahatma Gandi, Afrika Selatan memiliki Nelson Mandela yang juga adalah figur yang turut menginspirasi dunia dalam hal menanggapi kritik dan penganiayaan terhadap dirinya. Di Indonesia dapat pula ditemukan dalam diri Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Gus Dur, misalnya.

Dengan deskripsi ringkas di atas, kritik dalam bentuk apa pun, termasuk yang paling menyakit, adalah perlu dan suatu keharusan, lebih-lebih lagi bila kritik itu dikaitkan dengan jabatan publik.

Dalam arti sempit, kritik dipandang buruk. Kritik dilihat sebagai ancaman. Umumnya yang amat peka (sensitif) terhadap kritik adalah penguasa yang otoriter, tiran. Dalam hal ini, penguasa Orde Baru dapat menjadi contoh yang paling sempurna. Dengan demikian para pengkritik pun dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan.

Dalam pengertian yang luas, kritik, justru, menjadi motivasi untuk melakukan transformasi, tetap berada dalam kesadaran. Kritik menjadi elemen yang penting dalam demokrasi. Dengan kata lain, unsur kritik adalah syarat utama demokrasi.

Orang yang melakukan kritik, umumnya, tidak disukai, dibenci, dan dijauhi. Maka dalam konteks ini, keputusan sejumlah akademisi melakukan kritik terhadap kebijakan Presiden Jokowi menunjukkan suatu keberanian.

Cara paling elegan menghadapi kritik adalah meningkatkan kecerdasan, yang hanya dapat diraih lewat belajar. Sebab hanya dengan belajar dapat merawat kejernihan pikiran dan kepekaan nurani. Belajar seumur hidup pun menemukan maknanya yang terdalam. Maka dari itu, tingkatkanlah kecerdasan dengan terus-menerus belajar. Jangan pernah berhenti belajar…!!!

Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button